Hai Indonesia! Selamat malam!
Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, dengan potensi maritim yang sangat besar. Indonesia juga negara dimana saya lahir ditengah-tengah suku, ras, agama, dan budaya yang berbeda-beda.Â
STOP!Â
Jangan bangga jika kita tidak membuka mata kita terhadap kejadian yang terjadi dimasa-masa kini. Dimana sebuah masalah pasti disebabkan oleh ras, suku, agama dan budaya yang resesif atau potensinya sangat kecil untuk dapat menjadi dominan dalam negara ini. Dimana sebuah masalah hanya dilihat dari sudut pandang yang benar, bukan dari kedua sudut pandang. Dimana keegoisan telah menjadi bahan utama menuntut hukum orang yang dikasihi.Â
Dimana rasisme mulai menggerogoti hidup bernegara sebagai warga Indonesia. Dan yang terakhir yakni dimana kita terlalu fokus dengan layar smartphone anda, tidak melihat apa yang anda rekam saat ini dan rekaman tersebut nantinya akan disalahsangkakan oleh publik, dan mulailah publik menghakimi apa yang terlihat pada video tersebut tanpa tahu kejadian nyatanya.
Rasisme yang kerap kali menggerogoti sebagian dari tubuh Indonesia dengan menjudge the book by the cover. Bagi orang-orang dominan yang terdapat di Indonesia berasumsi bahwa 1 orang ras nondominan akan mewakili seluruh ras yang sejenis dengan orang tersebut. Rasisme di lingkup negara, kita tidak hanya terjadi melalui verbal namun berupa ketikan yang dapat menyakitkan hati orang yang beras nondominan yang juga tinggal dalam lingkup kita.
Padahal terdapat pasal yang mengatur tentang rasisme melalui media sosial, dan akan terjerat hukum karena telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis, terutama Pasal 16. Dan yang termasuk orang-orang yang disebut rasis yakni orang-orang yang melanggar Pasal 4 UU No 40 tahun 2008. Berupa ketikan atau melalui sosial media tidak hanya terjerat hukum karena melanggar pasal yang telah disebutkan sebelumnya saja, melainkan juga melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Melihat dari hukum yang terdapat di Indonesia dan masih bersangkutan dengan rasisme yakni dimana kita melihat orang lain dengan sudut pandang orang yang melakukan tuntutan tanpa melihat orang yang dituntut terlebih dahulu. Dari data-data yang diberikan penuntut tidak jarang sudah direkap ulang atau berarti itu bukan data yang sah. Di Indonesia sendiri, selain tidak jarang terjadi rekap ulang tetapi juga adanya egoisme yang menyebabkan kebanyakan dari orang Indonesia yang mein hukum sendiri karena tidak dapat mengendalikan emosi.
Menurut masalah yang baru hangat dibicarakan oleh netizen yakni tentang Seorang Anak yang Bermain Ayunan Dipukuli oleh Seorang Pria. Pendapat saya mengutarakan bahwa, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, dan semua manusia pasti memiliki dosa. Dari sudut pandang sang bapak, kita dapat melihat bahwa orang tua mana yang terima jika anaknya yang sedang berumur 3 tahun atau dalam masa perkembangan, yang memiliki tubuh kecil dan rentan serta berjenis kelamin perempuan jatuh hingga terpental
Karena seorang anak laki-laki yang bermain ayunan dengan kecepatan yang tinggi tanpa diawasi oleh orang tuanya menabraknya dengan kencang. Hal tersebut membuktikan bahwa orang tua tetap harus menjaga anak yang sedang bermain, apalagi anak laki-laki biasanya akan menunjukan kekuatan saat dia berumur 7 tahun keatas.Â
Dia akan merasa lebih baik jika dapat mengusir dan menyingkirkan orang lain dengan kekuatannya sendiri tanpa mengetahui resiko yang terjadi setelah dia melakukan hal tersebut. Wajar sang ayah dari bocah perempuan malang akan langsung memarahinya dan kawatir pada anaknya yang kecil itu akan terjadi kerusakan pada tubuh berkembangnya. Potensi yang dapat terjadi yakni gagar otak, patah tulang, dan gangguan psikologis tentunya.Â