Mohon tunggu...
Politik

Jangan Golput biar Maju

2 Desember 2018   06:21 Diperbarui: 12 Februari 2019   11:56 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selamat datang para pembaca Kompasiana!

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas mengenai penerapan demokrasi di Indonesia. Seperti yang sudah kita ketahui Indonesia adalah negara yang menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Negara yang demokratis memberi kesempatan bagi seluruh warga negaranya untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Artinya, negara mewujudkan kedaulatan rakyat untuk menjalankan pemerintahan negaranya.

Salah satu bentuk kedaulatan rakyat diwujudkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu adalah proses pemilihan wakil rakyat untuk mengisi jabatan tertentu dalam kursi politik.

Dalam pemilu kita seringkali mendengar adanya golongan putih (golput). Golput ditujukan bagi orang-orang yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak suara mereka dalam pemilu. Mungkin saat ini kita masih menganggap golput adalah hal yang biasa. Lalu apakah sebenarnya golput tindakan yang benar atau salah? Apa pengaruhnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?

Sebelumnya, kita harus mempelajari sejarah terjadinya golongan putih. Golput awalnya terjadi pada pelaksanaan Pemilu 1971 pada era Orde Baru. Pada masa itu, golput ditujukan sebagai gerakan protes para pemuda dan mahasiswa bagi pemerintahan Orde Baru. 

Gerakan ini dipimpin oleh Arief Budiman. Ia berpendapat jika golput bukan ditujukan untuk sebuah kemenangan politik karena pada saat itu dengan atau tanpa pemilu, ABRI adalah kekuatan yang paling besar untuk mengubah nasib negara.

Hal ini sepertinya berdampak pada pemilu-pemilu selanjutnya. Jumlah pemilih yang golput tiap tahunnya semakin meningkat. Dapat kita ambil contoh pada Pemilu 2004 yang dilaksanakan dalam dua tahap. Pada tahap pertama jumlah partisipasi pemilih sebesar 80%, lalu pada tahap kedua turun menjadi 72,5%. 

Kemudian contoh lain terdapat pada Pemilu legislatif 2009 dimana jumlah pemilih yang golput terdapat sekitar 29%. Angka-angka ini menunjukkan masih rendahnya partisipasi rakyat dalam Pemilu.

Menurut saya, golput terjadi karena adanya rasa tidak percaya dari rakyat kepada calon pejabat. Hal ini dapat terjadi saat calon pejabat mengingkari janji yang telah dikampanyekan sehingga rakyat menjadi tidak percaya lagi. Golput juga dapat terjadi karena kurangnya kesadaran rakyat akan pentingnya berpartisipasi aktif dalam berdemokrasi dalam lingkup negara. 

Bagi mereka pilihannya akan sia-sia dan tidak menimbulkan pengaruh yang berarti bagi kehidupan mereka. Selain itu berita-berita mengenai tindakan tercela para pejabat seperti korupsi melalui media massa juga menjadi faktor timbulnya golput. Jadi, sebenarnya golput  adalah fenomena yang dapat muncul dengan sendirinya. Namun, batas pemilih yang golput harus diperhatikan. Di sini peran lembaga pemerintahan dalam memberi informasi mengenai Pemilu kepada rakyat berperan penting.

Pemilu menjadi momentum dalam menentukan perkembangan negara, jika golput terus-menerus dilakukan, kita tidak dapat merasakan kemajuan pada bangsa kita. Kita sudah diberi hak untuk memilih, oleh karena itu sebagai warga negara yang baik kita seharusnya  menggunakan hak pilih itu sebaik-baiknya. Jangan sampai hak pilih kita disalahgunakan oleh orang lain. Kita harus berpegang teguh pada prinsip Pemilu yang "Luber dan Jurdil". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun