Mohon tunggu...
Ananto Nugroho
Ananto Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Politik Perburuhan dan Hubungan Internasional

Pemerhati Politik Perburuhan dan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kepemimpinan Paradox, Susahnya Jadi Pemimpin Mencla - Mencle

4 Juni 2020   00:01 Diperbarui: 4 Juni 2020   00:08 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh sebuah konsultan manajemen kenamaan yang berkantor pusat di Amerika atas beberapa eksekutif perusahaan di wilayah Asia Pasifik terkait kepemimpinan, didapati sebuah kesimpulan bahwa di masa disruptive saat ini, terdapat beberapa kriteria kemampuan pemimpin yang akan semakin menonjol, salah satunya adalah seorang pemimpin akan dihadapkan pada situasi paradox.   Secara sederhana, situasi paradox adalah seperti situasi buah simalakama, dimakan Ayah meninggal, tidak dimakan Ibu yang meninggal. Kurang lebih penggambarannya seperti itu. Memang survey ini dilakukan atas kepemimpinan perusahaan, sekalipun memiliki cakupan yang cukup luas. Namun, saat ini bila kita menilik kondisi yang tengah dialami banyak pemimpin negara , maka jelas kontekstualnya survey tersebut diterapkan atas kepemimpinan di level Negara.

Perkenomian Indonesia

Kita tahu bahwa pandemi covid-19 telah membuat banyak Negara kesulitan menghadapinya. Tidak hanya dari sisi kesehatan, namun juga dari banyak sisi yang lain. Arab Saudi menghentikan ibadah haji dan menutup banyak tempat ibadah, Italia memberlakukan jam malam secara ketat, Polisi India bahkan harus menggunakan rotan untuk mentertibkan penduduknya yang melanggar aturan lockdown yang telah ditetapkan pemerintah dan masih banyak lagi Negara yang dengan berbagai cara mengupayakan pencegahan penyebaran covid-19 supaya tidak meluas di antara penduduk Negara itu.  

Apa yang terjadi di Indonesia ? Saat ini Presiden Jokowi menghadapi dilemma yang tidak kecil. Paling tidak dia harus menyeimbangkan 2 hal besar di dalam menangani covid covid-19 yang nyaris tidak bisa dibantu oleh banyak orang di luar pemerintahnya, yaitu sisi kesehatan dan sisi ekonomi. Dalam sebuah keterangan yang disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, defisit APBN Indonesia mencapai 6.34% terhadap PDB atau setara dengan Rp. 1.039,2 trilyun. Sementara itu, dari angka penderita covid-19 yang terus bertambah mencapai hampir 30 ribu orang.  Presiden Jokowi benar -- benar dihadapkan pada kondisi yang tidak menyenangkan.

Mental Pemimpin

Harus diakui, saya agak bersyukur dimana dengan kondisi yang ada saat ini, Presiden kita adalah orang yang pernah mengalami hidup miskin dan melarat, tidak memiliki harta bernilai serta merangkak dari bawah tanpa ada trah politik atau pengusaha besar di belakangnya. Mengapa demikian? Hal  ini karena dengan berangkat dari bawah, maka paradox kehidupan telah dialaminya sendiri. Pilihan hidupnya adalah antara lapar atau makan, hidup atau mati dan bukan makan daging ayam atau daging sapi. Saya tidak membayangkan apabila di saat pandemi covid kali ini Indonesia dipimpin oleh orang yang terbiasa hidup enak sedari muda karena orang tua, relasi dan lain sebagainya atau selalu memiliki "pengaman" dalam hidupnya, sehingga sudah bukan perkara hidup atau mati kelaparan yang dihadapinya.

Presiden Jokowi telah terbiasa mengambil keputusan dalam hidupnya  di tengah situasi paradox seperti saat ini. Oleh karena itu, saya sangat percaya kepemimpinan Jokowi dapat merespon dengan baik di tengah kondisi yang tidak menguntungkannya.

Langkahnya untuk menyampaikan pesan ke publik bahwa akan adanya "New Normal" dan pembukaan sentra -- sentra ekonomi masyarakat serta tindakan untuk tidak terlalu keras (yang dinilai banyak orang mencla -- mencle) adalah bagian dari menangani kondisi yang tidak tertahankan ini. 

Perekonomian yang ambruk akan menyebabkan resesi berkepanjangan dan berujung pada instabilitas sosial dan akan makin memperparah kondisi bangsa. Kita harus melihat apa yang terjadi di era reformasi tahun 1998 yang menyebabkan jatuhnya korban dan instabilitas politik, ekonomi dan sosial. Presiden Jokowi sangat menyadari keterbatasan perekonomian Indonesia, sehingga masyarakat harus dibantu secara sekaligus, yang nantinya akan membantu Negara menciptakan stabilitas. 

Dalam wawancara dengan Najwa Shihab, jelas sekali disampaikan bagaimana konsekuensi ekonomi ketika Jakarta akan dilakukan lockdown. Mampukah keuangan Indonesia (APBD DKI Jakarta) membiayai 550 milyar per hari hanya untuk Jakarta? Di saat penerimaan pajak DKI Jakarta yang menurun yang saat ini menyebabkan pemangkasan Tunjangan Kinerja Daera (TKD), mampukah membiayainya? Jelas sekali tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun