Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Mendengar Gitar Nick Johnston Bisa Membuatmu Tak Lagi Percaya Ide Sekuler

3 September 2018   16:20 Diperbarui: 4 September 2018   03:39 2621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: getsomemagazine.com

Adios Yngwie Malmsteen, Steve Vai, John Petrucci, dan nama-nama lainnya yang sudah tampak rada peot saat menyangga gitar di pundak!

Dunia cukup berterima kasih kepada kalian, yang sudi menuruni jagat langit dewa batara dan mengajarkan cara bergitar pada satu generasi baru di bumi. Dan kini, generasi gitaris kontemporer itu sudah tumbuh membesar.

Entah gua garba perempuan suci mana yang melahirkan genius-genius gitar anyar ini. Mereka, sebutlah Jakub Zytecki, Nick Johnston, Mateus Asato, dan atau Guthrie Govan telah menggubah komposisi-komposisi musik ajaib yang belum pernah terdengar di masa sebelumnya.

Menyebut musikalitas mereka sebagai "baru" barangkali tak terlalu boleh diuntukkan, kecuali ada sesuatu yang sungguhan baru di bawah langit. Dalam itu, musikalitas "segar" kiranya bolehlah jadi sebutan lain.

Setengah orang bersangka, daripada gitaris intrumental kawakan, nama-nama baru cenderung didengarnya karena timbre gitar mereka lebih sesuai dengan karakter zaman ini yang, tak lagi peduli suara berat dan distorsi gahar. Musik instrumental menjelma lebih ringan dan renyah sekarang. Para genius muda seolah berlomba membuat genre tidak populer ini se-easy listen mungkin.

Di antara itu, Nick Johnston adalah genius gitar yang menarik dibahas. Siapa Nick Johnston? Dia otodidak yang telah melewati masa-masa frustasi dalam proses kreativitasnya, dan juga sudah menulis sekian musik sampah.

Lingkaran kehidupan kemudian membuatnya lebih terkenal sebagai musikus pemurung, yang bakal langsung mengingatkan kita pada seniman romantis abad ke-18.

Entah kekuatan gaib bernama apa yang membuatnya begitu berpreferensi mengaransir musik minor. Namun, dalam sebuah wawancara ia mengatakan, kalau Johnny Cash dan Pink Floyd adalah sejumlah idolanya. Keduanya, seperti sudah dijadikan meteran, merupakan contoh bagaimana dan apa musik orang depresi itu.

Komposisi musik Nick Johnston demikian suram, cemas dan menyedihkan, ballad-esque, malas-malasan, dan bertele-tele. Nick bermusik seolah tak ingin didengar orang lain. Ia rasa-rasanya bermain cuma buat menyenangkan dirinya sendiri---atau dalam bahasa Bertrand Rusell tersebutlah egocentric particular. Salah satu lagunya, Remarkably Human, bisa memperjelas itu.

Sepintas lalu, tabiat-tabiat Nick Johnston itu terlihat seperti kekurangan musikalitasnya (atau idealisme? Ah, apa pula bedanya?). Tapi, sebenarnyalah hal-hal itu menjadi kelebihannya. Dengan yang dipunyainya, Nick Johnston membuat musiknya begitu personal di telinga pendengar.

Ini bisa jadi adalah alur bagaimana sebuah lagu menjelma begitu personal; pada awalnya pengalaman pribadi dan alam pikiran Nick Johnston tak dimengerti oleh orang lain, tapi kemudian, ekspresi bermusiknya menjadi simptom yang memancing pendengar untuk pergi ke reaksi tertentu yang mungkin ia sengaja. Dari ekspresi itu (pilihan nada, ketukan, akor, frasa, dll) Nick membagi pikiran dan pengalamannya.

Semenit, dua menit, lagu terputar. Bila raungan gitarnya terdengar mengisyaratkan kesedihan, pada menit selanjutnya---percayalah---kesedihan akan menghanyutkan siapapun engkau yang mendengarnya. Nick Johnston juga punya sejumlah lagu cinta, yang saat disetel kiranya bisa menghangatkan dinding rumahmu yang dingin. Privat, intim, dalam di kedalaman, dan dialogis, itulah sebagian karakternya musiknya.

Secara umum lagu Nick betulan nyaman didengar, di volume keras pun tak menyakitkan. Dan lagi, ini penting; lagu-lagu ekperimental yang ia tulis seperti begitu saja menyulap sesuatu yang abstrak menjadi konkret. Hal seabstrak transendensi misalnya. Nomor Even If It Takes a Lifetime, bisa saja merangsang kumpulan misteri yang tersimpan dalam tubuh pendengarnya.

Karya Nick Johnston sungguh mampu membuat getaran transenden dalam tubuh. Ini serius. Meski transendensi yang terjadi dalam tubuh manusia, belum terang betul di mataku.

Mungkin lebih karena saking banyaknya diskursus soal tubuh manusia, tapi jarang ada yang benar-benar menguasai palagan dan menjadi kanon soal transendensi, yang membuat pembahasan tubuh serupa kerumunan pasar. Tak ada yang mencolok.

Ya, pada akhirnya ilmu pengetahuan terus bergulir. Wacana berubah, kanon berganti. Perimbangan selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Pemahaman di soal tubuh dan transendensi pun terus berkembang. Namun tragisnya, beberapa wacana sekuler malah menguras urusan transendensi dari tubuh manusia hingga habis betul. Manusia, bagi paham sekuler, barangkali hanyalah mekanisme organis, tak jauh beda dengan tanaman.

Dulu Michelangelo mengautopsi mayat-mayat dan berpendapat bahwa tubuh manusia tak lebih dari sekadar anatomi. Freud menganggap tubuh adalah urusan libido. Marx bicara bahwa tubuh manusia adalah alat produksi berdasarkan teori ekonomi. Sedang Darwin di alam berpikir biologis, mengatakan kalau manusia adalah sekumpulan anak-cucu dari kera.

Kenapa orang-orang cerah pikirannya seperti mereka sangat percaya, bahwa manusia dapat seluruhnya dikuras dari transendensi dan membuatnya jadi semata objek materil yang bisa diteliti?

Kalaupun "yang transenden" sebegitu receh bagi mereka, dalam sependek tahuku, tubuh yang materiil tetaplah menyimpan segudang misteri. Transendensi adalah misteri tubuh. Dan dengan begitu, mustinya yang transenden tak dapat seenaknya saja direduksi dari pembahasan soal tubuh.

Atau mungkin para orang cerah seperti Freud, Marx, dan Darwin ini adalah pria-pria dingin sehingga tak pernah merasa---minimal---sedih saat mendengar alunan musik sendu? Apa jangan-jangan mereka ini orang sibuk yang tak punya waktu luang mendengar lagu bagus, Nick Johnston-Nick Johnston pada zamannya?

Kalau saja mereka pendengar musik yang taat, kuat saja dugaanku, para pemikir sekuler ini bakal menyadari bahwa ada benang kusut yang sukar diperjelas, di balik "melankolia" yang terasa kala mendengar, kasihlah, Weakened by Winter oleh Nick Johnston.

Melankolia itu juga bagian yang transenden. Dan itu, menurutku, selamanya adalah wilayah suci yang melampaui pamahaman, tak perlu penjelasan ilmiah, lebih-lebih disekularkan.

Terasa Platonis, ya! Tapi, ya, kira-kira begitulah tangkapanku atas Nick Johnston. Mungkin berdalil "mendengar gitar Nick Johnston akan membuatmu tak percaya ide-ide sekuler", tak bisa diterima begitu saja. Apalagi itu postulasi terkesan melampaui usholi Nick mencipta lagu.

Meski demikian, karya Nick Johnston sungguh layak didengar dan ditahu banyak orang. Boleh saja engkau punya pendapat berbeda dari yang kusimpulkan berikut, bahwa, setelah satu jam mendengar Nick Johnston, ide-ide sekuler sangat boleh dianggap sampah; sebagai wacana, ide sekuler terlalu kering, ra-nyeni blas, dan tak pernah lebih indah dari retorika paling buruk di dunia sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun