Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Secuil Peninggalan Satjipto Rahardjo

25 Mei 2017   14:21 Diperbarui: 25 Mei 2017   15:17 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tentu mahfum, sejak dulu, bahkan sebelum adanya perundang-undangan modern, masyarakat Indonesia telah memiliki kekuatan otonom untuk mengatur dirinya sendiri. Sampai-sampai kekuatan otentik itu membuahkan konvensi sosial yang menjadikan kita berani menyebut diri sebagai bangsa yang berbudi luhur, bermoral, gotong royong, kebersamaan dan semacamnya.

Namun, modernitas di bidang hukum kemudian membuat berbagai lapisan masyarakat latah untuk membahas undang-undang. Kita boleh menduga, diam-diam, sedikit demi sedikit, paradigma tentang "Indonesia negara hukum" yang kita impi-impikan lewat obrolan-obrolan itu akan bergeser menjadi "Indonesia negara undang-undang" yang kering-legalistik-positivistik-dogmatis.

 

Kompleksitas hukum

Ada yang ramai-ramai mengatakan, "Segalanya sudah diatur UU. Maka ikutilah. Kalau tidak ada aturan hukumnya, ya jangan dilanggar!!". Cara pandang simplistis semacam inilah yang akhirnya membawa persoalan laten nan samar. Hukum dinilai hanya sebatas untuk menjalankan undang-undang, dan hidup seolah sangat terikat dengan itu.

Simplifikasi semacam ini memang sudah jamak menjadi konsep hukum yang diyakini banyak orang. Namun justru menurut Prof Tjip, keyakinan normatif seperti inilah yang "rawan" menimbulkan masalah. Pandangan simplistis serupa dapat kita jumpai ketika kita melihat seorang pemeluk agama yang rigid menjalankan apa kata kitab sucinya.

Seorang pemeluk agama tekstualis tentu hanya memahami agamanya sebagaimana ia memahami teks agama. Parahnya, mereka menutup diri dari peluang kebenaran lain di luar teks. Sama, perlakuan formal-tekstual-normatif terhadap kitab hukum kiranya juga akan --kalau boleh di-lebay-kan-- menghancurkan hukum itu sendiri, atau minimal menjadikan pelakunya sebagai orang keras kepala yang menjengkelkan.

Prof. Tjip secara tidak langsung juga mengingatkan kita semua, jangan dikira menjalankan hukum itu cukup dengan didasarkan logika peraturan. Padahal, logika lain seperti misalnya keadilan dan kepatutan sosial idealnya harus pula dimiliki. Jangan pula kemudian akibat hukum, kompleksitas manusia, kemanusiaan, kemasyarakatan menjadi mesin otomatis sekali pencet, mesin yang penuh dengan sekrup, baut, paku dan kawat-kawat.

Kekhawatiran Prof. Tjip itu bukan tanpa sebab, perundang-undangan modern telah menjadikan kekuatan asli masyarakat kita tenggelam. Pernyataan diri sebagai bangsa yang berbudi luhur, bermoral, gotong royong, kebersamaan dan semacamnya tidak sampai menembus kultur hukum saking tebalnya kulit perundang-undangan modern itu.

Situasi seperti itulah yang memunculkan pertanyaan mendasar dari sebagian orang; "untuk apa undang-undang dalam hukum disusun kalau itu membuat yang menjalankannya tidak lagi bertindak otentik? Untuk apa pula hukum kalau kita sebagai manusia yang menghayatinya tidak merasa bahagia dan sejahtera?".

Apalagi pada realitanya, kita, yang mendiami Indonesia tercinta ini, jarang dibuat bahagia oleh hukum, kan!! Sekalinya hukum berhasil membahagiakan, kita menganggapnya sebagai sebuah kemenangan besar sekali seumur hidup. Kasihan ya kita ini!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun