Mohon tunggu...
Anang Fathoni
Anang Fathoni Mohon Tunggu... Lainnya - Long-Life Learner

IG : @anang_fathoni Email : ananglight@gmail.com https://linktr.ee/anang_fathoni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melawan Bias Logika

23 September 2021   16:58 Diperbarui: 25 September 2021   07:15 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

a dicto simpliciter ad dictum secundum quid -- Bo Bennet, Ph.D.

Manusia cenderung menyukai kemudahan, tetapi cenderung mengorbankan akal sehat demi mempertahankan kemudahan (Bennet, 2015: 29). Pernyataan tersebut relevan dengan konstruksi pemahaman masyarakat yang sejak dahulu menyukai kemudahan memperoleh suatu informasi tanpa melakukan analisis kritis dan bersikap skeptis untuk memahami alur logika yang benar. Peristiwa tersebut seringkali membuat seseorang mudah termakan hoax ataupun begitu saja percaya dengan teori konspirasi. Hal ini cukup relevan dengan accident fallacy atau cacat logika yang seringkali terjadi di masyarakat pada umumnya, dan hal ini berkaitan dengan tingkat literasi dari masyarakat itu sendiri.

UNESCO tahun 2016 menyebutkan Indonesia masuk di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indoensia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Riset dari Central Connecticut State University dalam judul tajuk World's Most Literate Nations Ranked di tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara (kominfo.go.id). 

Sementara itu Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) tahun 2019 membuat list The Most Educated Countries, dari 40 negara Indonesia masuk pada urutan ke 39. Kemudian Survei yang dilakukan oleh worldatlas.com pada tajuk List of Countries by Literacy Rate ditahun 2018 menyebutkan bahwa dari 197 negara, Indonesia masuk peringkat 106.

Data-data di atas menunjukan begitu memprihatiankannya Indonesia dalam hal Literasi. Padahal kemampuan literasi sangatlah penting untuk kemajuan dan kedewasaan masyarakat pada suatu Negara. Maju dalam hal penalaran, dan dewasa dalam menyikapi setiap pemberitaan atau kabar yang muncul baik dalam negeri maupun dari luar negeri, terutama berita hoaks.

Kurangnya literasi menjadi dasar mudahnya seseorang mudah termakan hoax. Menerima dengan begitu saja informasi yang masuk dalam memorinya tanpa adanya sikap kritis atau memahami lebih mendalam berita yang didapatkan. Sikap literate yang minim jelas merugikan bagi dirinya sendiri, dan lebih luas lagi dapat saja memecah belah bangsa Indonesia atau bahkan dapat menghancurkan NKRI kita. 

Seperti yang terjadi di Wamena belakangan ini, tercatat karena adanya hoax menyebabkan 32 orang meninggal dunia, dan 72 orang terluka, serta ratusan rumah dan kantor pemerintah dibakar dan dirusak. Kapolda Papua Irjen Polisi Paulus Waterpauw mengatakan pihaknya tengah melakukan pengejaran terhadap pelaku penyebar berita bohong alias hoaks. Paulus menduga penyebab kerusuhan di Wamena pada Senin (23/9) lalu karena adanya hoaks (suara.com).

Sumber lain mengatakan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mulai mengidentifikasi pemyebab kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua kemarin, Senin (23/9). Data awal mengarah pada dugaan adanya berita bohong atau hoax yang tersebar di kalangan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). Kurangnya tingkat literasi menjadikan mudah terpancingnya emosional seseorang, sehingga di Wamena hanya karena salah mendengar dan menangkap informasi, tanpa adanya klarifikasi menjadikan kerusuhan dikalangan pelajar tersebut. Taufan (2019) mengatakan bahwa Isu tersebut kemudian tersebar dengan cepat. 

Narasi yang dibangun yakni seorang guru bersikap rasis kepada anak didiknya. Kejadian ini kemudian berujung pada aksi demonstrasi para siswa di depan kantor Bupati Wamena. Saat aksi berlangsung, diduga ada sejumlah oknum-oknum yang tak bertanggungjawab menyusup di tengah kerumunan massa. Untuk berkamuflase, mereka berpenampilan dengan seragam siswa. Oknum ini mulai melakukan provokasi hingga terjadi kerusuhan. (jawapos.com)

Hal tersebut menunjukan bahwa Literasi dapat mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang. Seperti yang dikatakan oleh motivator Nasional Setia Furqon bahwa sikap dan perilaku seseorang minimal 5 Tahun mendatang dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu apa yang dia baca, apa yang dia tonton, dan siap yang menjadi temannya. Nampaknya tiga hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika seseorang itu kurang literasi dalam konteks bacaan, maka dia akan cenderung mudah menangkap informasi tanpa adanya klarifikasi atau tabayun terlebih dahulu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun