Politik Luar Negeri yang Realistis
Pada tanggal 24 Februari 2022, Rusia mulai melancarkan operasi militer ke Ukraina yang merupakan salah satu negara tetangganya di sebelah Barat Daya. Hal ini menandai eskalasi besar perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada 2014. Penyerangan tersebut merupakan penyerangan yang bisa dikatakan cukup besar dalam sejarah dunia dikarenakan menimbulkan berbagai ketidakstabilan dari berbagai sisi khususnya dalam segi ekonomi-politik. Penyerangan ini melanggar hukum internasional kontemporer seperti Hukum Humaniter Intenasional, Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, dan Moralitas Internasional. Hal ini membuat negara-negara besar, terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat dengan tegas memberlakukan sanksi terhadap Rusia.
Indonesia memiliki prinsip bebas aktif dalam urusan politik luar negeri yang mana Indonesia mempunyai kebebasan menunjukkan sikap dan kebijakan terhadap suatu persoalan. Maka dari itu, saat dunia ramai-ramai mengecam invasi Rusia ke Ukraina, Indonesia justru memilih jalan berbeda, yaitu jalan sunyi penuh perhitungan. Indonesia sudah seharusnya pantang untuk tidak memihak negara manapun melainkan menjadi pihak penengah yang mendamaikan. Sebagai Presiden, Prabowo Subianto membawa perubahan besar dalam politik luar negeri Indonesia. Latar belakang militer yang kuat memengaruhi pandangannya dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Dibawah kepemimpinannya, Indonesia mencoba memperluas pemaknaan bebas-aktif, lebih berfokus pada pragmatisme ekonomi-politik dan keamanan regional. Hal ini selaras dengan role theory yang mana pemimpin memaknai "peran" Indonesia di Dunia dan juga menjelaskan bahwa keputusan luar negeri sangat bergantung pada presepsi dan kepribadian pemimpinnya.
Warisan Politik Bebas-Aktif masih Dipegang Teguh
Prinsip bebas-aktif sudah menjadi fondasi utama kebijakan luar negeri Indonesia sejak masa kemerdekaan. Hal ini bukan hanya menandakan Indonesia tidak ingin terlibat dalam suatu persekutuan, tetapi juga sebagai bentuk komitmen perannya dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tampaknya Prabowo Subianto mempertahankan prinsip ini dengan tegas. Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan memiliki posisi yang cukup strategis pada kawasan Asia-Pasifik, sudah seharusnya Indonesia menjaga hubungan baik dengan berbagai negara tanpa harus memilih pihak dalam konflik manapun. Namun itu tidak mengartikan bahwa Indonesia tidak bereaksi apapun terhadap peristiwa ataupun konflik di dunia, Indonesia selalu berperan aktif dalam hal diplomasi. Pada kasus Invasi Rusia ke Ukraina, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, memilih untuk tidak mengecam Rusia secara langsung.
Prabowo menekankan pentingnya dialog dan diplomasi untuk penyelesaian konflik. Salah satu pernyataan prabowo yang mencerminkan sikap Indonesia dalam konflik ini adalah ketika ia mengusulkan pembentukan zona demiliterisasi di Ukraina sebagai upaya untuk mengurangi eskalasi perang dan menciptakan ruang untuk negosiasi damai. Usulan tersebut disampaikan pada forum Shangri-La Dialogue di Singapura saat beliau masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan karakter yang tidak hanya mengutamakan diplomasi multilateral tetapi juga memanfaatkan posisi Indonesia sebagai negara nonblok untuk mengurangi ketegangan global. Dalam pidatonya di World Governments Summit, Presiden Prabowo menyatakan bahwa "Indonesia menolak politik blok-blokan dan memilih berdiri di tengah untuk mendorong gencatan senjata global". Sejalan dengan teori foreign policy decision-making yang menekankan bahwa kebijakan adalah hasil kalkulasi elite berdasarkan persepsi ancaman dan peluang. Latar belakang militernya cenderung membuatnya berpikir dalam kerangka keamanan dan kekuatan strategis.
Hubungan Ekonomi dan Pertahanan yang Sensitif
Selain di bidang politik, hubungan ekonomi Indonesia dengan Rusia juga menjadi faktor penting dalam merumuskan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hubungan perdagangan yang cukup besar dengan Rusia. Karenanya, Indonesia tidak ingin merusak hubungan bilateral yang telah terjalin dengan Rusia, karena itu akan berdampak pada sektor ekonomi yang penting bagi Indonesia. Kebijakan ekonomi Indonesia mencakup diversifikasi pasar ekspor dan impor serta upaya mengelola dampak kenaikan harga komoditas. Indonesia juga tetap menjalin hubungan bilateral yang erat dengan Rusia, dengan fokus pada kerja sama ekonomi dan investasi strategis. Pada pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Prabowo menegaskan pentingnya untuk memperkuat hubungan kedua negara, baik dalam bidang ekonomi maupun kerja sama pertahanan.
Indonesia juga mempertimbangkan untuk memperluas kerja sama ekonomi dengan negara-negara yang berada di luar blok Barat, seperti Rusia, melalui keanggotaan Indonesia dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan). Melalui forum BRICS, Indonesia berharap dapat memperkuat posisinya di dunia internasional dan membuka peluang kerja sama ekonomi yang lebih besar, tanpa harus terikat pada politik kekuatan besar manapun. Di tengah embargo Barat terhadap Rusia, mengecam secara terbuka juga bisa mempersulit akses Indonesia terhadap teknologi pertahanan non-Barat yang sangat dibutuhkan untuk diversifikasi. Bagi Prabowo, yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan sebelum menjabat sebagai Presiden, hubungan pertahanan ini jelas bukan sesuatu yang bisa dikorbankan demi simbolisme politik.
Kritik terhadap sikap Indonesia yang "lembek" terhadap Rusia memang tidak bisa dihindari. Namun di balik keputusan Prabowo yang terkesan pasif, terdapat perhitungan strategis yang matang. Ia tidak sedang berpihak pada Rusia, melainkan pada kepentingan nasional dan posisi jangka panjang Indonesia dalam peta global. Dalam dunia yang makin terpecah, kadang keberanian terbesar adalah memilih untuk tetap netral. Dan itu, tampaknya, adalah pilihan Prabowo. Langkahnya dapat dilihat melalui model rasional yang mana negara diasumsikan bertindak sebagai satu aktor rasional yang membuat keputusan berdasarkan perhitungan untung-rugi untuk memaksimalkan kepentingan nasional. Contohnya seperti Prabowo selalu menilai konsekuensi dari mengecam Rusia, misalnya risiko ekonomi, militer, diplomatik, lalu memilih jalan yang paling menguntungkan secara strategis. Â Prabowo tampaknya ingin menampilkan Indonesia sebagai negara besar yang tidak mengikuti narasi negara-negara Barat. Dalam berbagai forum internasional, Indonesia cenderung mengedepankan pendekatan "Global South" --- berpihak pada keadilan, bukan pada blok geopolitik. Prabowo bisa jadi sedang membentuk citra Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) yang berani mengambil posisi independen dan dihormati karena kemandiriannya.
Kesimpulan