Namun seiring berjalannya waktu saat thuyul itu sudah lahir dan tumbuh, akhir dari cerita ini menyajikan bahwa ia harus tetap menjadi babu yang setia. Nasib tidak akan berubah walau darah Den bagus telah mengalir di tubuhnya dan menjadikannya seorang bocah. Walaupun status anak Pariyem diakui sebagai cucu atau bagian dari keluarga monarki. Namun tidak dengan Pariyem, ia harus tetap menjadi babu dan bekerja
Pariyem tidak menyadari bahwa ia terlahir berdarah merah dan Den Bagus berdarah bangsawan biru. Apa jadinya jika darah merah dan biru bersatu? Ungu. Ungu melambangkan warna seorang janda, dan Pariyem tidak menyadari hal itu. nasib pasrah akhirnya yang kembali lagi ia terima, kembali bahagia dengan kenyataan yang harus ia telan serta merta.
Jika dilihat dalam entitas masyarakat klasik, Pariyem bukan seorang warga yang berciri mempunyai identitas dan bisa menentukan pemimpin. Pariyem adalah seorang perempuan jawa yang jauh dari pengakuan, karena pada masa itu babu memang tidak akan sebanding dengan seorang Den Bagus walaupun kisah hamil-menghamili kadang terjadi. Pariyem adalah seorang rakyat yang tidak mempunyai identitas jelas. Tidak bisa memilih pemimpin, dan ia diatur oleh oligarki.
Kehidupan memang begitu, kadang tidak pernah dibayangkan akan sulit dan tidak bisa diterima. Kisah dari pengakuan Pariyem bisa kita adaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum kita terjatuh dalam ketidaksadaran percampuran spektrum warna, kita harus jeli dalam melihat apapun yang terjadi di dalam kehidupan modern.
Satu contoh misal, ketika kamu mencintai orang lain dan dia tidak mencintaimu, satu hal yang harus kamu pandang, mungkin warna darah kalian berbeda. Sebelum kamu terlalu terjebak dalam istilah "jodoh harus diperjuangkan" tetapi hal itu akan menyakitkan jika nyatanya nasib tidak bisa dipaksakan, seperti Pariyem. Jadi pintar-pintarlah kita dalam menyeleksi kehidupan yang terlalu susah ditebak ini.