Mohon tunggu...
Achmad Soeparno Yanto
Achmad Soeparno Yanto Mohon Tunggu... -

Sebuah hari takkan pernah dikenang tanpa karya yang kita buat. (Josh S. Hinds)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia dalam Bentang Kosmologi dan Mistisisme Jawa

1 September 2010   02:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:33 3228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_245778" align="alignnone" width="225" caption="sumber: http://purwasakti.blogspot.com/2010/02/mistisme-hindu-muslim.html"][/caption]

Bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu bengkong. Kalimat alegoris yang berasal dari budaya Jawa ini memiliki filosofi yang mendalam. Mengajak siapapun untuk kembali menenggok jati diri, dan mempertanyakan asal-usulnya di dunia. Seperti yang kita tahu, dalam kosmologi Jawa, manusia berasal dari tirta sinduretno yang keluar saat pertemuan antara lingga yoni, yangkemudian bersemayam di gua garba. Tirta sinduretno merupakan lambang air mani atau sperma laki-laki.

Dalam budaya Jawa, bertemuanya lingga dan yoni merupakan proses magis yang penuh spiritualitas. Bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu bengkong merupakan simbol yang menerangkan asal-usul perspektif manusia Jawa. Secara harfiah, berarti sejenis sambal dibungkus daun asam diberi lidi alu bengkong. Bothok bantheng bermakna sperma, godhong asem merupakan kemaluan wanita, dan alu bengkong merupakan alat kelamin laki-laki.

Dalam makna yang lain, Bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu bengkong merupakan jalan hidup manusia yang terbungkus sifat dan perilaku. Bothok bantheng menyimbolkan keberadaan dzat, hidup manusia itu sendiri, godhong asem merupakan simbol lain dari sifat-sifat manusia, sedangkan alu bengkong merupakan tingkah laku. Dalam budaya Jawa, kelahiran manusia di bumi merupakan anugerah Gusti yang patut disyukuri, karena kejadian yang luar biasa.

Dalam mistisme Jawa, manusia tidak hadir sendiri di muka bumi, melainkan berempat. Kita di bumi memiliki sedulur papat lima pancer yang merupakan saudara empat kita, kelima diri kita sendiri. Sedulur papat lima pancer, merupakan penghormatan pada orang tua, khususnya ibu yang sudah melahirkan kita di muka bumi. Yang memberikan kasih sayang tiada habis-habisnya. Hitungan pasaran yang berjumlah lima menurut kepercayaan Jawa, juga berdasar pada filosofi sedulur papat lima pancer. Filosofi sedulur papat lima pancer mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad, lahir bersama empat unsur atau roh atau enima yang berasal dari tanah, air, api dan udara. Empat itu masing-masing mempunyai kiblat di empat mata arah angin. Dan yang kelima berpusat di tengah. Persamaan tempat kiblat sedulur papat lima pancer bisa dilihat di bawah ini.

1.Pasaran Legi bertempat di Timur. Satu tempat dengan unsur udara, memancarkan aura putih.

2.Pasaran Paing bertempat di Selatan. Salah satu tempat dengan unsur api, selalu memancarkan aura sinar merah.

3.Pasaran Pon. Bertempat di barat karena tempat dengan unsur air, memancarkan sinar kuning.

4.Pasaran Wage. Bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, selalu memancarkan sinar hitam.

5.Kelima. Yaitu Kliwon, bertempat di tengah. Merupakan tempat sukma atau jiwa berada. Memancarkan sinar manca warna.

Dilihat dari penangalan Jawa melalui filosofi sedulur papat lima pancer, dapat diketahui betapa pentingnya pasaran Kliwon, karena berada di tengah atau pusat. Pusat merupakan tempat sukma yang memancarkan perbawa atau pengaruh kepada sedulur papat atau empat saudaranya. Satu peredaran keblat papat kalima pancer, dimulai dari arah timur berjalan sesuai alur perputaran jam dan berakhir di tengah. Jika dianalogikan, sedulur papat lima pancer seperti ibu yang sedang melahirkan anaknya. Ketika seorang ibu hendak melahirkan kita, sebenarnya perasaan hati dan badannya menahan kesakitan marmatrti, melalui dada. Kemudian lahir jabang bayi dari rahimnya. Setelah itu kaluar ari-ari yang bersifat kuning, lalu keluar darah yang bersifat merah dan tali pusar yang bersifat hitam. Marmarti, ari-ari, darah dan tali pusar inilah yang kemudian dikenal sebagai keempat saudara kita.

Agar sedulur papat selalu membantu kita menjalani kewajiban sebagai manusia, makamereka haruslah kita rawat. Orang Jawa biasanya merawat mereka dengan bersih-bersih, membakar dupa atau kemenyan, ratus, serta memberi wangi-wangian.

Setiap mau makan, setiap mau tidur, mau duduk dan berjalan. Sedang bekerja atau tidak, orang Jawa selalu menyebut nama empat sedulur mereka mereka. Dengan harapan akan menjaga diri, jiwa dan raga agar senantiasa selamat. Dari mulut orang Jawa akan berucap kalimat berikut;

Marmarti kakang kawah adi ari-ari getih pusar, kadangingsun papat lima pancer, kadangingsun kang ora katon lan kang ora kerawatan, sarta kadangingsun kang metu saka margaina lan kang ora metu saka margaina, miwah kadangisun kang metu bareng sedina kabeh bapanta ana ing ngarep, ibunta ana ing wuri, ayo pada ngetutna lakuku..

Menjelang tidur, juga ada etika untuk menyebut keempat saudara kita dengan kalimat: Ingsun arsa turu baureksanen sariraningsun sarajadarbekingsun kang ana ing wewengkoningsun kabeh. Adapun jika ada pekerjaan cara menyebutnya: Padha rewangana ingsun, katekanna ing sakarsaningsun. Jika membuang kotoran sebutlah suruh menyempurnakan kotoran itu agar menjadi suci sehat. Akhirnya, suatu ketika jika kita sudah hampir sampai pada ajal, keempat saudara itu harus diruwat, agar jangan sampai menimbulkan haru-biru yang mengganggu proses kematian kita. Cara meruwatnyaadalah dengan doa batiniah demikian:

Ingsun angruwat kadangingsun papat lima pancer kang dumunung ana ing badaningsun dewe. Marmarti kakang kawah adi ari-ari getih pusar, kadangingsun papat lima pancer, kadangingsun kang ora katon lan kang ora kerawatan, sarta kadangingsun kang metu saka margaina lan kang ora metu saka margaina, miwah kadangingsun kang metu bareng sedina kabeh pada sampurna-a nirmala waluya ing kahanan jati dening kawasaningsun.

Memahami manusia melalui sudut pandang mitologi Jawa, ternyata tidak hanya pada aspek fisiologi, melainkan lebih dari itu. Dunia Jawa merupakan bentangan mistisme dan mitologi yang penuhkearifan luhur. Namun ironisnya, segala tradisi kebijaksanaan itu saat ini makin terkikis dan semakin hilang. Tugas kitalah untuk terus menggali esensi yang ada dalam simbol-simbol tradisi Jawa, lalu mentransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga jaman Kaliyuga yang tengah melanda negeri kita bisa segera selesai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun