Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Berusaha Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat

Pemerhati Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kenapa Kemampuan Literasi Anak Indonesia Rendah?

21 April 2025   13:23 Diperbarui: 21 April 2025   13:59 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Buku koleksi Pribadi

Wakil Mendikdasmen, Atip Latipulayat menggas ide membaca satu buku satu minggu bagi pelajar di Indonesia. Gagasan ini sebagai jawaban atas merosotnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia yang disinyalir akibat budaya baca yang masih sangat rendah. Sesungguhnya gagasan Wamendikdasmen ini bukan isu baru. Di sekolah-sekolah di Indonesia program sejenis sudah sering dilaksanakan oleh sekolah melalui Program Gerakan Literasi Sekolah. Namun hasilnya belum sesuai dengan harapan. Budaya baca, kompetensi guru serta keterbasan akses merupakan sebagian dari akar permasalahan terhadap rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia.Tulisan ini akan mencoba untuk mengelaborasi permasalahan tersebut.

Programme for International Student Assessment (PISA) sebuah program penilaian internasional untuk mengukur kemampuan literasi, matematika dan sains para pelajar di seluruh dunia dengan sponsor Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2022 lalu menunjukan hasil yang sangat menyakitkan bagi Indonesia. Dalam aspek literasi membaca, Indonesia hanya meraih skor 359 poin, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 476 poin.

Dari 81 negara peserta, Indonesia menempati peringkat ke-64. Bandingkan dengan Singapura yang berada di posisi pertama (543 poin), Jepang (516), Korea Selatan (515), hingga Malaysia (388) dan Thailand (379) yang mencatat skor lebih tinggi dari kita.

Kondisi ini mencerminkan bahwa beragam upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia masih belum membuahkan hasil. Rendahnya kemampuan baca anak-anak Indonesia juga mengindikasikan jika anak-anak Indonesia belum mampu berpikir kritis dan bernalar kritis, serta mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan baik.

Hasil PISA ini linier dengan tmuan studi yang dilakukan Kemendikbud bekerja sama dengan "Early Grade Reading Assessment" (EGRA) tahun 2014 lalu yang menemukan bahwa hanya 48% siswa kelas 2 SD yang dapat memahami teks bacaan pendek dengan benar.

Data ini sekaligus menggambarkan bahwa lebih dari 50% anak-anak Indonesia belum mampu berpikir kritis. Sebab berpikir kritis hanya lahir dari kebiasaan untuk membaca secara mendalam atau comprehenship reading.

Rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia juga berbanding lurus dengan Indek Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional.

Tahun 2023 lalu hasil survey yang dilakukan Perpusnas menunjukan bahwa IPLM Indonesia hanya mencapai 63,9 %. Angka ini menujukan jika akses terrhadap bahan bacaan, frekwensi membaca dan infrastuktur penunjang literasi masih jauh dari ideal. Hingga saat ini indek pembangunan literasi tertinggi di dunia masih dimiliki oleh Finlandia, disusul Norwegian, Islandia,Denmark, Swedia dan untuk negara di kawasan Asia, Jepang berada di urutan teratas.

Negara-negara yang memiliki IPLM tinggi ditandai dengan budaya baca yang tinggi bagi seluruh warganya, pemerintah menyiapkan infrastrukutur literasi dengan optimal, serta adanya kebijakan pendukung lainnya. Dalam kaitanya dengan itu maka masyarakat Indonesia membutuhakn adanya kemauan politik para pengambil kebijakan secara lintas sectoral untuk mengatasi rendahnya kemampuan literasi di Indonesia. Dengan kata lain dibutuhkan upaya dan usaha yang radikal untuk memotong mata rantai penyebab rendahnya budaya baca di Indonesia.

Pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa tahun silam telah mengubah lanskape kehidupan manusia dengan sangat paradigmatik. Pembatasan yang dilakukan selama masa pandemic telah mengubah kultur masyarakat kita dari budaya komunal menjadi budaya personal. Ruang-ruang sosial yang sebelumnya menjadi tempat untuk berkembangkan interaksi antar warga akhirnya menjadi terbatas. Dan tehnologi informasi menjadi salah satu pilihan untuk merajut jalinan komunal tersebut.

Digitalisasi menjadi budaya baru masyarakat kita. Di tengah budaya baca yang masih sangat rendah, lahirnya tehnologi digital seakan menambah subur  budaya lisan dan visual di tengah masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun