*Tulisan ini dibuat pada tahun 2013, pada saat PSS mempersiapkan tim untuk mengarungi DU PT LPIS 2012-2013
2 tahun belakangan, menjadi titik terendah sepakbola indonesia.Dari mencuatnya kasus Mafia Sepakbola, sampai dualisme di badan tertinggi sepakbola Indonesia, PSSI. Tidak hanya sampai disitu, kedua kubu PSSI (yang menganggap keduanya sah) juga mengagendakan untuk menjalankan ki.Semua pelaku sepakbola menjadi korban dari keserakahan kaum elite yang hanya memikirkan kantong dan golongan mereka sendiri. Semua jadi korban, semua mendapat ketidak jelasan. Mulai dari klub, pemain, penikmat sepakbola, dan orang yang bergantung hidup pada pertandingan sepakbola.
Awal tahun ini, PSS memulai langkah untuk mengarungi kompetisi DU PT LPIS 2012-2013 dengan gontai, lesu. Bagaimana tidak, kejelasan kompetisi sampai saat itu tidak didapatkan secara pasti. Semua menunggu keputusan dari federasi tertinggi kita, PSSI. Manajemen tidak berani mengambil langkah untuk segera membentuk tim. Manajemen tidak mau mengambil resiko dari ketidakjelasan kompetisi. Namun perlahan tapi pasti Manajemen mulai memulai membentuk tim, tim yang kuat sesungguhnya. Hal ini tidak telepas dari akun fenomenal yang tiba-tiba muncul di twitter, @GOL_PSSI.
Namun tulisan ini tidak akan membahas kisruh kedua kubu yang beradu kepentingan. Tulisan ini akan membahas tentang the winning team PSS tahun ini. Yang diisi pemain-pemain “bintang”. Masih teringat jelas di ingatan kita, ketika manajemen meminang Hanafi sebagai pelatih. Tak lama beliau langsung dipecat karena alasan yang tidak perlu kita sebut. Setelah itu ditunjuklah Coach Yusack sebagai pengganti. Dengan bermodal tangan kosong dan lisensi yang mentereng, beliau mulai membentuk tim.
Tidak seperti pelatih lain, yang seyogyanya akan meminta dan memilih siapa saja pemain yang akan di rekrut kepada manajemen, coach Yusack ini terkesan pasif dalam proses pemilihan pemain. Bukan tanpa alasan, dari riwayat pembentukan tim, kedatangan pemain sesalu merupakan inisiatif dari pihak manajemen. Coach Yusack tinggal berkata “ya” atau “tidak”.
Praktis, eksodus pemain arema IPL ke PSS pun tidak ada campur tangan dari pelatih. Pelatih macam apa ini yg membentuk tim bukan dari karakter bermain yg sesuai dengan yang diinginkan pelatih, atau bahkan posisi yang diinginkan pelatih. Dari sini, kemampuan membentuk tim coach yusak bisa dipertanyakan. Beliau menyetujui kedatangan pemain yang berlabel “wah”, bukan sesuai dengan gaya permainan yang dia inginkan.
Pemain berlabel bintang berdatangan, sebut saja Ajisaka, Waluyo, Wahyu Gunawan, Juan Revi, Moniega, Budi Sudarsono, Noh Alamshah, dan terakhir Anggo Julian. Pengalaman mereka memang tidak perlu diragukan lagi. Dari komposisi pemain yang ada, pelatih menggunakan formasi 4-3-3 sebagai formasi utama untuk menghadapi musim kompetisi. Dan keputusan ini menurut penulis adalah suatu keputusan yang terkesan mencari aman, karena memang dengan komposisi pemain seperti itu,4-3-3 adalah yang paling ideal. Namun apakah kenyataan di lapangan berkata demikian? Dalam pertandingan ujicoba, PSS memang tidak pernah kalah, cleansheet kemenangan diraih pasukan Super Elja. Namun apakah dari segi permainan sudah maksimal? Maksud saya dengan materi pemain “bintang “ ini? Menghadapi tim yang selevel dibawah kita masih keteteran di lini tengah? Masih belum bisa merangsek pertahanan lawan ? adakah kita lihat kombinasi satu dua cantik yang diperagakan antar pemain yang mengundang decak kagum penonton?
Formasi yang ideal adalah formasi yang sesuai dengan karakter, visi misi dan tipe pemain. Formasi 4-3-3 adalah formasi yang membutuhkan pemain yg punya coverage permainan luas. Dalam artian dia bisa meng-handle lini tengah dan bagian flank. Pertanyaan nya apakah pemain seperti anang hadi, juan revi, bahkan Fajar L tepat diberikan peran tersebut? Mungkin kita bisa menemukan jawabannya di dalam permainan dari PSS sleman dalam beberapa pertandingan yang telah kita saksikan.
Apakah the winning team kita harus menyesuaikan diri kembali dengan pola formasi yang ditentukan oleh sang pelatih (hanya karena kita memiliki 3 penyerang hebat, dan tidak memiliki pemain sayap murni) ? atau justru sebaliknya? Sang pelatih yang harus menyesuaikan dan mencari formasi yang tepat untuk mengeluarkan potensi the winning team ini? ( yang tentu saja tidak dilakukan oleh Coach Yusack)
Masih sangat jelas di benak saya, bagaimana kontribusi Anang Hadi musim lalu dibawah komando Widyantoro, ketika Anang diberikan kebebasan, free role, di tengah. Bebas memberikan umpan, atau melakukan shot. Anang yang berbadan kecil ini musim kemarin menjadi jendral lini tengah untuk membangun serangan PSS. Namun semua itu buyar ketika melihat formasi 4-3-3 musim ini. Anang menjadi midfielder yang lebih melebar. Dan lihat hasil nya ? sekali lagi, pertanyaan ini silahkan anda jawab sendiri ☺ Kasus yang sama bisa kita implementasikan pada pemain lain. Silahkan bandingkan posisi Juan Revi sewaktu di arema dengan posisi nya yang sekarang.
Inilah yang saya sebut dengan penyesuaian pola. Apakah pemain yang harus menyesuaikan pola permainan pelatih? Dengan resiko dia tidak bermain secara maksimal, atau pelatih lah yang harus mengalah dan memutar otak dengan mencari formasi yang benar-benar cocok. Jangan jadikan the winning team kami menjadi “the Whirling team” seperti yang anda lakukan di match lawan Persibangga kemarin.