Mohon tunggu...
Nyimas Herda
Nyimas Herda Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

aku adalah aku..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kursi Roda (Sebuah Lanjutan dari Prosa Tantangan)

8 Mei 2011   15:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di antara kaca putih yang secara samar-samar menangkap segala sesuatu yang berlalu. Berlari seorang laki-laki dengan wajah pucat, kemeja putih menuju ujung lorong yang memperlihatkan sosok lelaki tua di atas kursi roda tajam menatap penuh keseriusan.

Sama seperti bayangan yang samar-samar di pantulan kaca-kaca transparan, sosok lelaki tua di atas kursi roda itu perlahan memudar. Membawa laki-laki yang berhenti dengan tiba-tiba dari larinya menuju tempat jauh yang berubah menjadi hamparan reruntuhan rumah legam bekas terbakar. Dan tiba-tiba saja sunyi jadi merayapi.

Angin berhembus, menerbangkan selembar kertas yang tadinya tergeletak bersama arang yang tercipta dari kayu yang entah sejak kapan sudah terbakar. Kertas itu terbang menuju laki-laki yang heran dengan semua yang terjadi tiba-tiba dalam hidupnya.

Langkahnya mulai tercipta mengejar selembar kertas tadi, ketika kertas tadi kembali diam tergeletak tanpa terpaan angin lagi. Jari-jari pucatnya memungut kertas tadi. Membuka lipatan kertas yang menyisakan bekas terbakar di bagian lipatannya, memotong beberapa kalimat yang tertulis di kertas tadi.

Dan kematian itu bagaikan kehidupan yang sudah lama dirindukan, yang sudah lama dinanti tapi dengan perasaan yang diselubungi ketakutan. Serta bagi kematian itu kehidupan adal…..

“Adalah apa?,” saru Laki-laki tadi kepada kesepian.

“Adalah jalan untuk menuju keabadian!,” jawab lelaki tua yang duduk di atas kursi roda yang muncul dengan tiba-tiba di hadapannya.

Laki-laki tadi menoleh ke arah lelaki tua yang duduk di kursi roda, dia tersenyum kepada si lelaki tua tersebut.

"Oh Pak Arifin Ali, ini kertas seperti dikirim oleh langit untukku..." katanya sambil lalu sementara tangan pucatnya mulai meremas kertas tersebut menjadi gulungan bola..

Laki-laki di dalam kursi roda mendekat, sementara bayang-bayang yang ada dalam kaca-kaca transparan mulai surut dan akhirnya menghilang, meninggalkan dua orang laki-laki yang beda usia, beda penampilan dan beda keberadaan.

"....Dimas " panggil Laki-laki dalam kursi roda.

"Kamu sudah bisa mengingat sedikit apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu ?"

Dimas hanya mengangkat bahunya sedikit. Kecelakaan, yaah kata orang dia kecelakaan tetapi kecelakaan jenis yang mana dia kurang paham yang pasti semenjak kata orang dia kecelakaan dia merasa ada yang kurang pada dirinya yang sulit dia pahami. karena itu dia belum bisa pulang ke rumahnya, padahal jika dilihat dari fisiknya yang berangsur pulih dia sudah diperbolehkan dokter pulang, tetapi pulang ke mana. Syukurnya pihak rumah sakit bisa mengerti keadaan, Dimas di izinkan untuk tetap berada di situ sampai akhirnya nanti Dimas mampu mengingat siapa dirinya selain nama "DIMAS" yang tertulis di tanda pengenal, terselip di saku bajunya ketika warga setempat menemukan dia tergeletak di pinggir jalan.. tetapi hanya itu.. yang lain tidak ada..

"Dimas..." Panggil Pak Arifin lagi..

"Mungkin hari ini cukup sampai di sini kita bertemu, aku masih ada urusan.."

dan sebelum sempat Dimas menjawab, Pak tua sudah menggerakkan kursi rodanya menjauh dari Dimas kemudian menghilang di belokan lorong-lorong Rumah Sakit Umum, rumah sementara bagi Dimas ini.

(Nyambung nggak ya... pokoknya stop dulu ya...ngantuk..heheheh)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun