Mohon tunggu...
Fras An
Fras An Mohon Tunggu... Freelancer - Rough Sea Makes A Good Captain

Lone wolf

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gorengan Radikalisme

14 Maret 2022   14:44 Diperbarui: 14 Maret 2022   14:47 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Isu radikalisme dan intoleransi sepertinya tak henti-hentinya gencar diproduksi, di balik segala permasalahan negeri tercinta ini. sebutlah masalah  kelangkaan minyak goreng, gula pasir dan pupuk, naiknya harga daging, telor, kedelai, gas, jalan tol, pertamax turbo. dan itu baru bagian kecil persoalan ekonomi, belum lagi bicara soal degradasi moral generasi muda, masalah politik, korupsi. begitu komplek permasalahan yang terjadi, seolah tak menemukan solusi, tak ada yang terselesaikan secara tuntas hingga ke akar-akarnya.

Menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat seolah sudah menjadi hal biasa, seperti baru-baru ini dengan apa yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ( BNPT ) setelah merilis pernyataan 198 pondok pesantren yang dianggap terafiliasi jaringan terorisme, kembali mengangkat isu radikalisme dengan mengungkapkan lima ciri penceramah agama radikal.

Menurut Direktur BNPT Nurwakhid, lima ciri penceramah agama yang dikategorikan radikal yaitu mengajarkan anti Pancasila dan pro khilafah; mengajarkan paham takfiri; sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah; sikap eksklusif; dan anti budaya/kearifan lokal keagamaan. Tentu saja paparan ini mengundang kontroversi dan menuai pro kontra di benak publik. lebih spesifiknya hal tersebut memantik kemarahan umat Islam dalam berbagai persepktif. 

Pertama, penyebutan kata penceramah yang sangat jelas tendensius ditujukan kepada penceramah Agama Islam saja, yang jadi pertanyaan kemudian jika merujuk kepada lima ciri tersebut bagaimana jika ada pihak yang mengajarkan anti pancasila tapi dia bukan seorang penceramah agama Islam, bahkan bukan terkategori penceramah agama, apakah akan masuk kepada ciri radikal?. Dari satu poin saja hal ini sungguh sesuatu yang bias, atas dasar apa penceramah agama secara spesifik dicurigai sebagai kaum radikal intoleran versi BNPT.  Adapun soal pro Khilafah. ini ranahnya sudah sangat berbeda, Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam yang tentu saja sangat normal jika penganutnya meyakini mempelajari dan mendakwahkan, tidak perlu dipolitisasi dan dicurigai sedemikian rupa, cukuplah adu argumentasi, menjadi bahan diskusi sehingga tidak ada lagi kecurigaan dianggap sebagai sebuah ancaman. Narasi dilawan dengan narasi, bukan kemudian membuat stigma buruk dan framing negatif tanpa memahami. ciri sebuah kekalahan intelektual ketika argumentasi diredam oleh persekusi dan intimidasi. 

Poin kedua kemudian mengenai mengajarkan faham takfiri, logika sederhananya adalah setiap keyakinan punya prinsip masing-masing misalnya bagi seorang muslim maka orang yang berbeda keyakinan terminologi bahasanya adalah sebutan "kafir" sebagaimana Penganut Kristiani yang menyebut "Domba tersesat" untuk orang di luar keyakinannya. Tentunya hal ini tidak menjadi sebuah masalah, karena difahami dalam konteks ini disesuaikan dengan ajaran masing-masing agama, bukan sifatnya dipergunakan untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Terkecuali jika di dalam satu payung keyakinan misalnya sesama umat Islam mengkafirkan saudara seaqidahnya sendiri tanpa hujjah dan argumentasi yang sesuai hukum syariat, tentu hal ini tidak dibolehkan. 

Poin ketiga mengenai sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah. Dalam konteks bernegara manapun pastinya tidak diharapkan ada pihak yang anti dengan pemimpin dan pemerintahan yang sah, misalnya yang dilakukan oleh KKB  Papua, kelompok separatis ini terang-terangan melakukan pemberontakan dan tidak mengakui pemerintahan, berbagai macam teror dan pembantaian telah mereka lakukan terhadap warga sipil. Keberadaan mereka jelas menjadi sebuah ancaman terhadap keamanan dan keutuhan wilayah NKRI, namun kenapa tidak disebut sebagai kelompok radikal dan terorisme. 

Maka dalam poin ini harusnya diperjelas bagaimana indikator anti pemimpin dan pemerintahan yang sah itu seperti apa. Realitas di lapangan yang terjadi adalah, ketika publik dan masyarakat mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang dinilai tidak pro rakyat, bukankah itu hal yang wajar di alam demokerasi.  Adapun seorang penceramah agama ketika mengkritisi kebijakan penguasa maka itu adalah bagian darai dakwah sebagai aktivitas amar ma'ruf nahi munkar. Sejalan dengan yang disampaikan ketua  MUI Cholil Nafis dalam cuitannya mengingatkan untuk tidak menyalahgunakan ciri penceramah radikal. Dia tak ingin penceramah yang mengkritik pemerintah dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar alias mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan malah dicap radikal.

Tolonglah, kepada para pejabat publik dan wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dan digaji dengan uang rakyat mestinya mereka memiliki kesadaran untuk mendahulukan kepentingan hajat hidup orang banyak dalam menelurkan kebijakan-kebijakan pemerintah.  Menunjukan kinerja yang baik atas segala pelayanan publik agar rakyat puas. dan jika hal ini dipenuhi tentu kritikan dari masyarakat dengan sendirinya juga berkurang atau tidak ada, maka bedakan bagaiamana sesungguhnya yang anti pemimpin itu dengan masyarakat yang justru peduli kepada penguasanya dan melakukan kritik agar tidak melenceng dari tugas mereka yang seharusnya melayani rakyat bukan?

Poin berikutnya tentang sikap eksklusif dan anti budaya kearifan lokal. Definisi eksklusifpun mesti diperjelas, yang seperti apa. Jika ditujukan pada kaum yang memakai simbol agama sebagai bentuk ketaatan akan ajaran agama, misal seorang muslimah memakai hijab syari sebagai identitas, maka hal itu tidak ada hubungannya atau bukan menunjukkan sebuah eksklusivisme, pun mengenai persoalan adat-istiadat, budaya yang meerupakan karya, cipta dan karsa manusia,  selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam maka tidak ada masalah untuk dipelihara dan dilestarikan. Menelisik kelima ciri tersebut, rasanya tidak keliru jika publik menganggap isu radikalisme ini sengaja ditujukan membidik umat Islam. gorengan radikalisme ini tak sehat karena mengandung virus Islamofobia. 

Dari paparan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya isu radikalisme ini tidak nyambung, tidak relevan dengan berbagai persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini, namun lucunya para petinggi sangat gencar mengesankan seolah-olah persoalan bangsa ini ditimbulkan oleh radikalisme. Idealnya sebagai bangsa besar dengan segala kekayaan alam yang berlimpah, negeri ini sudah terkategori makmur sejak puluhan tahun meraih kemerdekaan. tapi rupanya hal tersebut masih sebatas jargon dan wacana. Negeri ini semakin dilingkupi berbagai problem yang tak kunjung tuntas, kehidupan masyarakat yang makin jauh dari nilai-nilai agama  namun di sisi lain aktivitas dakwah menyeru kebaikan mencegah kemungkaran dikebiri dan dipinggirkan dan distigma negatif dengan gorengan radikal dan intoleran.

Sampai kapan bangsa ini terpuruk ketika hukum bisa dipermainkan dan keadilan hanyalah frasa tanpa makna..

___

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun