Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Legal Opinion: Studi Kasus Pemerasan pada Proyek Rehab SD/SMP Pasca Bencana Gempa Kota Mataram, NTB

7 Januari 2021   09:36 Diperbarui: 7 Januari 2021   09:57 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
VONIS : Terdakwa kasus pemerasan pada proyek rehab SD/SMP pasca bencana Kota Mataram, H. Muhir, divonis dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Mataram kemarin. (Dery Harjan/Radar Lombok)

Hal menarik yang diperbuat di sini adalah perbedaan antara kesewenang-wenangan dan praktek yang layak dari pranata tradisional pemberian hadiah. Bila pembedaan ini sudah diperbuat, tidak sulit membayangkan bagaimana korupsi menjalar. Akan tetapi, kita harus mengkaji makna kebiasaan pemberian sebagai suatu sumber kesewenangwenangan dalam jaringan kausal korupsi, mengingat fakta bahwa praktek-praktek lain yang disetujui oleh masyarakat telah dijangkiti oleh korupsi (Syed Husein Alatas, 1980: 39).

Lebih jauh, Alatas membagi 7 tipologi korupsi, yaitu: korupsi transaktif, korupsi yang memeras, korupsi invensif, korupsi perkerabatan, korupsi defensif, korupsi otogenik, dan korupsi dukungan. Terkait dengan praktik pemberian hadiah dalam relasi kuasa seperti dijelaskan di atas, tipologi korupsi invensif merupakan bentuk yang menunjukkan adanya hubungan antara pemberian dengan kekuasaan yang dimiliki penerima. Dijelaskan, korupsi invensif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang akan diperoleh di masa akan datang.

Korelasi dengan teori sebelumnya bahwa dalam setiap perbuatan tindak pidana, pasti mempunyai motif tersendiri baik tindak pidana tersebut akhirnya sempat terlaksana atau tidak. Dalam kronologi perkara Muhir dinyatakan bahwa Muhir menolak pemberian uang 30 juta tersebut. Namun, yang masih harus kita kaji lebih dalam adalah persoalan motif dan niat dari Muhir itu sendiri. Dimana dari kronologi perkara dinyatakan, bahwa uang 30 juta itu juga hadir atas dasar permintaan Muhir hingga kemudian Sudenom mau untuk menuruti kehendak dari Muhir. Ditambah lagi, dengan uang 1 juta yang secara jelas dan nyata juga diminta atas inisiatif Sudenom sendiri dan bahkan diterima langsung oleh Sudenom. Logika hukumnya, Muhir bukan tidak jadi melaksanakan tindak pidana karena uang penolakannya terhadap uang 30 juta, namun karena tindak pidana yang dia lakukan sudah lebih dahulu diketahui oleh Tim Intelijen Kejaksaan Negeri Kota Mataram. 

Dikarenakan pada saat baru saja Muhir kemudian akhirnya menerima uang 30 juta tersebut, Tim Intelijen kemudian langsung menangkapnya secara OTT. Diperkuat lagi dengan sudah adanya Iktikad dari Muhir untuk meminta uang tersebut. Artinya, secara mens rea pun Muhir sudah melakukan tindak pidana penerimaan hadiah tersebut. Terbukti dari kronologi perkara ketika saksi Sudenom memberitahu saksi Tjatur Totok Hardiyanto terkait adanya telepon yang isinya permintaan sejumlah uang dari Muhir dan menyuruh saksi Tjatur Totok Hardiyanto untuk menyiapkan uang sejumlah Rp. 30.000.000. Dan bahwa dana sejumlah Rp.30.000.000 adalah inisiatif saksi Sudenom sendiri dan sebelumnya tidak pernah diperjanjikan antara terdakwa dengan saksi Sudenom. 

Kant dan Hegel dalam Teori Pembalasan menyatakan bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat di dalam apa yang disebut kategorischen imperative menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembahasan yang sematamata didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan. Dengan demikian jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika, dimana seseorang yang melakukan kejahatan akan dihukum dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah etika dari yang jahat menjadi baik.

"Hukum dalam wujudnya menurut istilah Donald Black sebagai government social control. Dalam kaitan ini sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini hukum dipandang sebagai dasar rujukan yang digunakan oleh pemerintah di saat pemerintah melakukan pengendalian terhadap perilaku-perilaku warga masyarakatnya, yang bertujuan agar keteraturan dapat terwujud"          Black, The Behavior of Law, (New York: Academic Press, 1976:2).

Begitu pula dengan pemidanaan yang diberikan kepada Muhir. Hal ini tidak lain sebagai bentuk pemerintah dalam hal memberikan keteraturan hidup dalam masyarakat. Terlebih, untuk mengembalikan lagi hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap badan representatif. Sejalan dengan itu, hakim pun memberikan hukuman kepada Muhir berdasarkan pada Pasal UU. No 20 Tahun 2001 pada saat itu. Dimana, unsur-unsur yang terkandung di dalamnya kenapa kemudian pasal ini digunakan dikarenakan:

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Tidak bisa kita pungkiri bahwa dengan berkembangnya adagium tidak boleh menolak rejeki semakin memperkuat kebiasaan buruk atau prilaku korup hingga nyaris menjadi perilaku keseharian, termasuk dalam pelayanan publik di masyarakat. Sehingga dikenal berbagai istilah seperti uang terimakasih, uang lelah, biaya kopi atau istilah lain yang mirip. 

Pembenaran menggunakan alasan kebiasaan, adat istiadat, dan bahkan perayaan agama juga tidak jarang mengemuk. Akibatnya, tak dapat dipungkiri bahwa penerimaan hadiah atau gratifikasi bukan hal baru di Indonesia. Beberapa orang menganggapnya sebagai kultur imperatif yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Banyak yang menganggap pemberian hadiah tersebut adalah sebuah kebiasaan dan kepatutan, terutama jika si penerima telah melakukan sesuatu yang dianggap membantu kepentingan pemberi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun