Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Legal Opinion: Studi Kasus Pemerasan pada Proyek Rehab SD/SMP Pasca Bencana Gempa Kota Mataram, NTB

7 Januari 2021   09:36 Diperbarui: 7 Januari 2021   09:57 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
VONIS : Terdakwa kasus pemerasan pada proyek rehab SD/SMP pasca bencana Kota Mataram, H. Muhir, divonis dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Mataram kemarin. (Dery Harjan/Radar Lombok)

3. ANALISIS HUKUM

Atas beberapa isu hukum yang sudah disebutkan di atas. Maka inti dari kronologi perkara yang terjadi adalah terjadinya transaksi pemberian uang sebagai bentuk balas jasa oleh Sudenom terhadap Muhir atas keberhasilannya dalam membuat proposal pengajuan anggaran Rp. 4,2 Milyar disetujui. Hingga akhirnya kemudian, Muhir meminta uang di luar anggaran yang harusnya diberikan hanya sebesar Rp. 4,2 milyar saja kemudian bertambah menjadi Rp. 30.000.000 dan Rp. 1.000.000 yang diminta atas inisiatif dari Muhir sendiri. 

Hal demikian inilah yang naninya akan mencederai kepercayaan publik terhadap badan representatifnya. Dikarenakan, badan representatif yang harusnya merepresentasi keinginan masyarakat kemudian hancur dikarenakan adanya penyalahgunaan jabatan tersebu oleh Muhir. "Sejalan dengan teori yang dikatakan oleh dalam Kajian Korupsi dalam Perspektif Sosiologi dalam Rumusan yang Berkaitan dengan Kepentingan Umum yakni Carl J. Friedrich yang mengatakan bahwa, mempertahankan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang pemegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu, seperti pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainya yang tidak diperbolehkan oleh undang- undang (secara tidak sah), membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum (Linggar Yudha Pratama, 2015:6).

Sebagaimana dinyatakan bahwa kajian Sosiologi Hukum berusaha untuk mengkaji kasus ini bukan hanya secara normatif. Hal ini dikarenakan studi hukum normatif kajiannya bersifat perspektif, hanya berkisar pada apa hukumnya dan "bagaimana penerapannya . "Hingga kemudian Satjipto Raharjo memperluas kembali kajian penelitian suatu kasus dengan mengutip pendapat Max Weber yang menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai suatu interpretative understanding, yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan, serta efek dari tingkah laku sosial (Satjipto Raharjo, 2000: 310-311).

Dengan demikian, mempelajari sosiologi hukum adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam kaitannya dengan korupsi sehingga mampumengungkapkannya. Tingkah laku dimaksud mempunyai dua segi, yaitu luar dan dalam. Oleh karena itu sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan ingin juga memperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. 

Berkaitan dengan teori tersebut kemudian hal yang bisa disimpulkan dari beberapa isu hukum yang ada salah satunya juga dengan terkait pertimbangan hukum yang ada hingga kemudian Majelis Hakim memutuskan berdasarkan keterangan saksi salah satunya saksi Sudenom yang berkenaan langsung dalam realita lapangan yang ada. 

Dimana pernyataan Sudenom mengatakan bahwa motif pemberian berupa uang sejumlah Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan sejumlah Rp30.0000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tersebut diberikan oleh saksi Tjatur Totok Hardiyanto atas perintah saksi Sudenom adalah karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram bukan sebagai terdakwa pribadi. 

"Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Barley dalam Buku Kajian Korupsi dalam Perspektif Sosiologi yang mengatakan bahwa perkataan "korupsi" dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi".

Sejalan dengan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa Menurut Abdullah Hehamahua berdasarkan motivasi pelaku, korupsi dapat dibedakan menjadi 5 yakni, korupsi karena kebutuhan, korupsi karena ada peluang, korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri, korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah, dan korupsi karena ingin menguasai suatu Negara. 

Maka begitu halnya dengan yang digarisbawahi dalam perbuatan Muhir kali ini yakni memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengambil keuntungan pribadi dengan alih-alih sebagai bentuk keuntungan pribadinya sendiri. Maka, perbuatan Muhir bisa jelas dikategorikan sebagai korupsi karena ada peluang dan korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri. 

Dalam buku yang lain, Sosiologi Korupsi; Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, SH Alatas menulis: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun