Mohon tunggu...
Agustinus Tukan
Agustinus Tukan Mohon Tunggu... Freelancer - Seeker: toe first, then head.

Praktisi pemberdayaan masyarakat, pegiat keadilan sosial, ekonomi & lingkungan, wirausahaan sosial, entrepreneurial leadership enthusiast, penyair musiman, penyuka plesir, pengamat politik/kebijakan amatiran, penerjemah tulis dan lisan berpengalaman, petani.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akhir Pekan Musim Panas di Amerika Serikat: Perjumpaan Di Public Library

23 September 2012   13:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir pekan musim panas di Amerika Serikat identik dengan gerak dan keceriaan. Orang-orang berpasang pasangan baik tua maupun muda berlari, bersepeda atau sekedar duduk duduk di taman. Di Waltham, sebuah kota kecil di Greater Boston Area, tempatku menimba ilmu, gerak dan keceriaan ini menjadi kentara sekali di Central Park dan sepanjang Sungai Charles. Ada keluarga kecil yang berlari mengitari taman, ada juga tukang besi yang mempertunjukkan kebolehan menempa besi dengan arang dan alat kipas tradisional.  Di sepanjang sungai Charles, tampak sekelompok muda mudi dengan headphones menutupi telinga dan T-shirt putih biru bertuliskan Brandeis University berlarian santai. Sementara itu beberapa senior citizens mengomeli anjing-anjing kesayangan yang mereka tarik-tarik karena tampak ingin bergerak lebih cepat daripada langkah-langkah pelan tuannya. Anjing-anjing ini sepertinya iri pada tupai tupai yang berkeliaran bebas dan tampak menggoda mereka. Pemandangan di permukaan Sungai Charles lebih seru lagi: sepasang angsa putih yang terbang rendah seperti tidak mau kalah dengan beberapa pasangan muda yang mengayuh perahu perahu karet mereka dengan cepat seperti menantang teriknya matahari musim panas.

Sungai Charles adalah sungai sepanjang 20 mil yang membelah daerah New England. Didesain sebagai daerah reservasi, taman taman dengan jalur jalur sepeda membentang dari kota kecilku, Waltham, dan kemudian melintasi Watertown,  Cambridge, dan Boston. Sementara itu, di sepanjang aliran Sungai Charles sebelum akhirnya bermuara di Harbor Bay yang berhadapan dengan Samudera Atlantik, beberapa universitas ternama dunia berdiri kokoh: Brandeis Universty di Waltham, Harvard dan MIT di Cambridge dan Boston University di kota Boston sendiri. Bersepeda sepanjang Sungai Charles di akhir pekan di musim panas bagaikan merayakan vitalitas dan kemudaan. Berpapasan dengan orang-orang yang rata rata muda yang datang dari segala penjuru dunia untuk menimba ilmu di "kota pelajar"-nya Amerika Serikat adalah pemandangan yang lazim. Terasa juga atmosfer akademia yang rileks tatkala melihat orang-orang muda dengan buku-buku di tangan yang duduk di bangku bangku taman sepanjang aliran sungai atau membaca sambil berbaring di atas rerumputan dengan tas dan sepeda di sampingya. Pemandangan yang juga tidak kalah lazim di akhir pekan musim panas adalah sepeda-sepeda yang diikatkan pada pagar-pagar besi di perpustakaan-perpustakaan umum. Mengunjungi public library di akhir pekan di musim panas dan menjelajahi ranah ide-ide adalah sama lazimnya dengan menjelajahi taman taman kota dan bersepeda sepanjang Sungai Charles. Public library di 700 Boyslton Street di Boston punya 25 cabang termasuk Waltham Public Library di kota kecilku yang selalu padat pegunjung dan dikelola secara sukarela oleh kelompok kelompok relawan. Jumlah ini belum termasuk perpustakaan-perpusatakaan besar di Harvard, MIT, Brandeis University, Boston University, Bentley University, Tuft University, Clark University dan universitas-universitas lainnya. Sebagai perbandingan, kendati berada di kota kecil, luas dan jumlah pengunjung di Waltham Public Library dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan public library di Menteng, Jakarta Pusat, milik Freedom Institute. Kendati demikian, public library di Menteng masuk kategori maju lantaran koleksi buku yang lengkap, katalog online dengan koneksi internet yang cepat, serta suasana dan tempat yang nyaman dan kondusif untuk studi.
Saya menjadi pengunjung setiapublic libary di Waltham ini terutama di akhir pekan di musim panas karena setelah bersepeda menyusuri sungai sebentar, saya bisa dengan tenang membaca, mengerjakan tugas-tugas kuliah sambil mencuri pandang pada seorang gadis dari Peru yang baru kukenal yang senang membaca bukan saja novel novel Paulo Coelho tetapi juga buku serius seperti Poor Economics karya dua peneliti dari Poverty Action Lab, Massachusetts Institute of Technology, Prof. Abhijit Banarjee dan Esther Duflo. Setelah melakukan penelitian di berbagai negara berkembang: India, Indonesia, Kenya dan negara-negara berkembang lainnya berikthiar, salah satunya, untuk mendorong pemerintah pemerintah negara-negara berkembang mendasarkan kebijakan-kebijakan publik dalam pengentasan kemiskinan pada data data ilmiah. Mereka terjun lansung ke lapangan dan melalui ratusan "randomized control trials", metode yang mereka pakai untuk menguji temuan temuan mereka, memunculkan wawasan-wawasan cemerlang yang membuat teori teori ekonomi yang sudah mapan tampak konyol. Mereka misalnya memberikan insight menarik pada pertanyaan mengapa orang yang susah makan dan dikategorikan miskin punya TV dan hape di rumahnya. Bukankah lebih baik mereka pakai uangnya untuk membeli makanan dan atau menyekolahkan anaknya? Mengkategorikan miskin atau tidaknya seseorang dari jumlah asupan kalori semata adalah generalisasi yang keliru besar karena mencerabutkan manusia dari kebutuhan kebutuhan psikologis dan konteks spesifik yang sama vitalnya dengan makanan.
Melihat Mia, begitulah namanya, tenggelam dalam bacaan serius ini, ingin rasanya aku melontarkan sebuah "hola!" dan cas cus sebentar dalam Bahasa Spanyol yang modul kursusunya dalam CD kudengarkan lagi dengan lebih saksama dan daya tangkap lebih cepat. Aku ingin mengesankannya dengan menunjukkan beberapa kekeliruan editorial yang tampak sepele tetapi mengganggu dalam Poor Economics ketika, misalnya, Program Raskin Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan asupan kalori penduduk miskin Indonesia ditulis sebagai Razkhin, bahwa Raskin adalah akronim untuk Beras Miskin dan dari situ mengajaknya berdiskusi apakah program semacam ini mengeluarkan masyarakat dari vicious circle (lingkaran setan) kemiskinan dan menghantarkan mereka pada virtuous circle masyarakat berdaya. Tetapi, sudahlah! Biarlah Mia tenggelam dalam dunianya. Namun satu hal yang kutahu pasti, saya makin rajin membaca dan menghabiskan akhir pekan di public library. Makin sering ke public library, makin juga kusadari bahwa public library adalah sebuah ruang berbagi. Itu tampak jelas dari para relawan yang melayani dengan ramah kendati tanpa bayar. Dari kesabaran para instruktur Bahasa Inggris mendengarkan dan membetulkan pronounciation salah kena imigran dari Rusia dan Cina dalam English Conversation Club yang menempa kemampuan berbahasa mereka sebelum dapat diserap pasaran tenaga kerja. Juga, pada seorang gadis berkerudung dari Bhutan dan pemuda berwajah Hispanik yang memanfaatkan fasilitas komputer dan koneksi  internet gratis untuk menjelajah dunia. Sekali lagi kukenang wajah Mia: oval dengan hidung mancung dan kulit kuning langsat. Di Jakarta, dengan mudah saja, ia dapat lolos audisi jadi pemain sinetron. Bersamaan dengan itu, sebuah kesadaran baru terbersit: entah apapun motivasimu, rajin-rajinlah membaca karena membaca dapat mengubah duniamu, memperluas cakrawalamu dan memuluskan jalan untuk menggapai mimpi-mimpimu!

No comments:

Post a Comment

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun