KETIKA KHATIB DIMINTAI SEDEKAH
Oleh Armin Mustamin Toputiri
Diam-diam, saya sedang memendam kecemburuan pada seorang kolega kerja di parlemen. Ia berasal dari parpol berazaskan Islam, sebab itu selain terpilih mengemban amanah rakyat, ia juga tetap menunaikan tugasnya sebagai seorang muballig, yaitu da’i atau khatib. Ia tidak hanya berdiri di atas mimbar sekian jumlah masjid, tapi juga selalu dimintai menyampaikan ceramah keagamaaan Islam tentang ajaran kebaikan dan nilai-nilai luhur serta kebenaran.
Ia menekuni perannya sebagai seorang muballig secara sungguh-sungguh dan tanpa pamrih, sementara pada saat yang bersamaan ia juga mengemban tugas sebagai seorang legislator. Keduanya ia tunaikan secara seiring sejalan, tanpa ada yang ia tepikan ataupun ia lebihkan. Keduanya ia jalankan penuh perhatian dan totalitas yang nilainya sama. Ketika menghadiri buka puasa bersama misalnya, ia pamit lebih awal. Ia masih punya jadwal ceramah tarwih.
Kehebatannya mengatur jadwal diantara dua kegiatannya itulah yang seringkali membuat saya cemburu. “Mari kita kerjakan urusan dunia seolah-olah kita akan hidup selamanya, dan mari kita kerjakan akhirat seolah-olah kita akan mati besok”, jelasnya ketika suatu kali saya tanyakan bagaimana ia mampu mengatur jadwal diantara dua kegiatannya itu. “Resepnya sangat sederhana”, ujarnya. “Kerjakan secara ikhlas, sehingga tidak terbebani”, lanjutnya.
Demikian resepnya, meski ia mengakui bahwa kedua kegiatannya itu tidak pernah lepas dari tantangan. Misalnya, suatu waktu ia menyampaikan khutbah Jumat, isi materi disampaikan tentang seruan berzakat. Tapi ketika ia ingin meninggalkan masjid, depan pintu ia dihadang seorang yang memintainya sedekah. “Ustadz tadi kan, cermah zakat”, kata si peminta. Wah, untung saja ia diselamatkan dari uang gajinya di parlemen yang masih tersimpan di kantong.
Faisal-Makassar, 16 Ramadhan 1436 H/03 Juli 2015 M.