Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petaka di Awal Tahun

3 Januari 2020   08:39 Diperbarui: 4 Januari 2020   02:18 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam pergantian tahun - 2019 menuju 2020 - disambut dengan penuh suka cita oleh warga di permukaan bumi manapun. Tak terkecuali di ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta.

Tepat pukul 00, di atas langit yang tengah menggantung awan gelap, setelah meneteskan gerimis, tak ada ruang hampa tanpa percikan bunga kembang api. Ayal, bara api, juga tiada henti menyalak. Dentumannya memekak telinga. Maka terjadilah, langit Jakarta di malam itu serasa mau rubuh.

Setelah lelah semalaman berpesta hingga larut, akhirnya terlelap juga. Tetapi belum lelah diaus oleh tidur, warga memaksakan diri untuk segera bangkit. Meninggalkan tempat tidur.

Berpesta semalaman baru saja usai, kini sesaat lagi akan berganti dengan petaka. Penanda di hulu sungai telah terlihat. Aliran air bah dari hulunya di Bogor telah bergerak deras dan cepat. Tak ada cara, daya dan kuasa dimiliki manusia agar bisa menghalaunya. Beberapa jam lagi, Jakarta tergenang.

Faktanya - tepat di awal tahun 1 Januari 2020 - tak perlu lagi dicerita, semua telah menyaksikan. Seperti tersiar melalui gambar foto dan video. Suasana Jakarta yang tak hanya tergenang, tetapi sebagian sudah tenggelam.

Guna menyelamatkan diri, warga menumpuk di lantai rumah bagian atas. Sebagian lagi, terpaksa diungsikan. Barang-barang di lantai bagian dasar rumah, apa boleh buat, dibiarkan saja terendam. Syukur-syukur, jika berkas dokumen penting bisa diselamatkan.

Seperti itu gambar foto dan video yang beredar sepanjang hari kemarin. Mendatangi kita lewat media jejaring sosial. Mau tak mau memaksa kita menyaksikannya. Pargelaran hidup, dipenuhi duka cita. Meski malamnya bersuka cita. Penanda, bahwa jarak antara duka dan suka, memang sangatlah tipis. Beragam video yang beredar, jelas terlihat, ada puluhan kendaraan milik warga, terendam. Kenapa dibiarkan? Menyelamatkan diri dan jiwa, jauh lebih penting dari pada harta.

Jawaban kita pasti sama. Paradoksnya pun pasti sama. Paradoks itu, menurut KBBI, pernyataan yang seolah bertentangan (berlawanan) pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Jawaban kita sama benarnya, bahwa berhadapan petaka, pastilah kita semua akan memilih menyelamatkan diri dan jiwa dibanding harta. Tetapi kenyataan seringkali bertentangan. Andaikan petaka tak ada, kita pun melupakan diri dan jiwa, demi berburu harta.

Seperti itu nalar paradoks berkelindang di benak saya kala menyaksikan mobil-mobil mewah itu terbawa arus air yang menggenangi Jakarta. Mobil-mobil itu mengapung di atas permukaan air. Tak ubahnya kaleng-kaleng susu bekas. Tak bisa dijinjing. Tinggal jadi tonton warga yang hanya bisa beristigfar tanpa punya daya. Padahal mobil-mobil itu barang mewah. Harganya sangatlah mahal. Memilikinya, mesti didahului oleh lelehan keringat yang kadang mempertaruhkan jiwa.

Saat benak saya berkelindang jauh menyaksikan video mobil-mobil mewah itu, hanyut terbawa arus, alih-alih dihentak komentar seorang teman di group WhatsApp. "Rata-rata orang kaya itu memang sering dimurkai Allah SWT karena hidupnya bukan kepadaNya. Ini contoh bagaimana kuasa Tuhan!". Komentar itu, tidak kalah paradoksnya. Menjadi orang kaya, itu harus. Menjadi soal kemudian adalah sumbernya? Kekayaan jangan dibenci! Hanya saja, hiduplah sederhana!

Makassar, 02 Januari 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun