Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rizal Ramli: Punya Uang, tapi Sedikit yang Bisa Membeli Selera

25 Desember 2013   06:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SELAMA ini, setiap Pemilu, baik Pileg maupun Pilkada atau Pilpres, parpol hanya cenderung memunculkan figur-figur calon menurut selera sendiri, bukan selera rakyat. Sehingga itu, tidak sedikit elit parpol ketika telah mendapat posisi itu pun hanya lebih merasa punya tanggung-jawab kepada parpolnya semata, bukan kepada rakyat.

Seperti yang terjadi saat ini, menjelang Pileg dan Pilpres, semua parpol yang akan bertarung dalam Pemilu 2014 lagi-lagi hanya memunculkan figur caleg maupun capres menurut seleranya sendiri. Mulai dari pengangguran, artis, hingga pengusaha tajir direkrut oleh parpol dengan harapan (hanya) untuk dapat mendulang suara sebanyak-banyaknya tanpa seakan mau tahu kualitas dan integritas figur-figur tersebut. Buktinya, tak sedikit caleg belum bertarung namun sudah ada yang berurusan dengan hukum.

Dan hal itu sekaligus menunjukkan, bahwa parpol nampaknya tak mau tahu apabila di antara figur-figur yang direkrut tersebut ternyata lebih banyak bermental bobrok dan korup. Dan figur-figur seperti itulah yang kini lebih banyak disuguhkan sebagai caleg maupun capres oleh parpol.

Jika benar-benar ingin memperbaiki kondisi negeri ini, seharusnya parpol berusaha sebisanya merekrut figur (caleg, calon kepala daerah, capres) secara selektif dan terbuka dengan langsung melibatkan rakyat. Misalnya, dengan menggelar ujian secara terbuka layaknya ujian masuk Perguruan Tinggi.

Kalau perlu, yang dinyatakan “lulus ujian” dibiayai kampanyenya oleh parpol agar bisa sukses terpilih menjadi seorang legislatif, kepala daerah dan kepala negara. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan. Yang ada hanyalah proses dan mekanisme internal parpol yang lebih banyak berbau kongkalikong (terutama dalam penunjukan calon kepala daerah dan atau capres).

Rakyat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan figur-figur yang ingin dimajukan sebagai calon kepala daerah dan juga capres. Sebab dalam proses menentuannya, itu diduga lebih banyak dipengaruhi oleh nilai suara rupiah, atau seberapa banyak uang yang bisa disediakan oleh seorang calon agar dapat diperjuangkan untuk menjadi pemimpin. Dan di sinilah sesungguhnya pintu awal kehancuran negeri ini. Yakni menentukan calon pemimpin hanya menurut selera parpol, bukan selera rakyat.

Andai parpol bisa diibaratkan sebuah rumah makan, atau tempat orang mencari dan mendapat makanan, maka parpol harus sebisanya menyuguhkan makanan menurut pilihan dan selera sang pengunjung. Sayangnya, yang terjadi saat ini malahan pengunjung dipaksakan untuk memakan makanan yang bukan menjadi pilihan dan seleranya, melainkan pilihan dan selera sang pemilik rumah makan.

Parahnya, tak sedikit “pengunjung” tanpa pikir panjang mau-mau saja melahap makanan yang bukan seleranya tersebut, yakni karena sang pemilik rumah makan menyuguhkannya secara gratis plus “bonus” uang. Sehingganya, meski pengunjung sebenarnya tahu bahwa makanan tersebut sudah kadaluarsa atau bisa menimbulkan penyakit karena berkolesterol tinggi, tetapi tetap dilahapnya. Celakanya, para pengunjung itu malah mengajak keluarga dan kerabatnya untuk turut menyantap makanan tersebut meski tidak sesuai dengan seleranya.

Benar apa yang dikatakan DR. Rizal Ramli dalam twitte-nya, bahwa “There are so many people with money, but so few could afford taste. Banyak orang punya uang, tapi sedikit yang bisa membeli selera”.

Menggali apa yang ditulis oleh mantan Menko Perekonomian di twitter tersebut, tentu dapat ditemui sebuah makna yang setidaknya mengajak rakyat Indonesia untuk mencontoh cara Obama memenangkan Pilpres di AS. Yakni para pendukungnya yang malah memberi sumbangan kepada Obama untuk digunakan sebagai biaya kampanye. Dan jika cara begini yang bisa diterapkan di Indonesia, maka tentu parpol “pembeli” suara tidak akan bisa berbuat banyak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun