Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“Lowongan Kerja”! Ada Jalur Khusus Menjadi Menteri Kabinet?

31 Mei 2014   23:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:53 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Demokrasi transaksional?

[caption id="" align="alignnone" width="471" caption="Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Demokrasi transaksional?"][/caption] KARAKTER pemerintahan di negara ini nampaknya memang sudah amat memprihatinkan. Untuk menjadi seorang menteri pun ternyata tidaklah susah-susah amat. Sebab, ada jalur khusus yang bisa membuat seseorang bisa mengisi “lowongan kerja” agar dapat menjadi menteri. Lowongan kerja untuk menjadi menteri pada jalur khusus ini pun tidaklah memerlukan keahlian di bidang yang akan ditanganinya. Bahkan bagi yang berminat, tidak diharuskan berasal dari kalangan partai pendukung. Artinya, bagi siapa saja bisa terbuka lowongan untuk menjadi menteri, walau tak punya keahlian dan meski juga bukan dari kader partai mana pun. Sebab, itu semua rapopo... yang penting wani piro.?! Dan lowongan kerja inipun berpeluang besar akan kembali dibuka. Sebab, salah satu sosok yang diduga kuat pernah mempraktikkannya, kini kembali berlaga di momen Pilpres 2014 ini. Berbagai sumber dari kalangan atas juga tak menampik kabar tentang adanya praktik jual-beli posisi menteri yang pernah terjadi di beberapa Pilpres yang lalu. Dan jika rakyat tak jeli, maka sebagian besar menteri-menteri kabinet pemerintahan hasil Pilpres 2014 yang akan datang, diduga kuat kembali direkrut melalui jalur khusus tersebut. Memang, dari sumber yang ada menyebutkan, bahwa  menteri-menteri kabinet hasil Pilpres 2014 bakal terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama adalah para menteri yang  direkrut berasal dari kader partai pendukung, yakni sebagai hasil dagang kursi (koalisi). Kelompok kedua, yakni sejumlah profesional yang bukan kader partai ditarik masuk untuk menjadi menteri. Namun, kelompok ini tidak terlalu banyak jumlahnya. Sedangkan kelompok ketiga adalah para figur yang tidak jelas berasal dari kalangan mana. Sebab, mereka direkrut bukan berasal dari partai politik, dan pula bukan berasal dari kalangan profesional. Kelompok ketiga inilah, menurut sumber tersebut, adalah poisisi yang diperdagangkan. Karena yang mengisi poisisi ini adalah terdiri dari orang-orang yangtak punya kompetensi, keahlian, apalagi integritas. Mereka direkrut berdasarkan jumlah tawar-menawar uang yang bisa disediakan. Artinya, kelompok ketiga ini memang diperdagangkan dengan tujuan sebenar-benarnya komersil. Dan hal ini dimaksudkan agar bisa mendapatkan dana untuk memenangkan Pilpres. Sebab, siapa pun pasti tahu, bahwa untuk memenangkan Pilpres memang butuh dana yang sangat besar. Tapi sayangnya, cara-cara seperti ini sudah pasti dapat merusak negara kita karena sebagian besar menteri ternyata diisi oleh orang-orang yang tidak paham dan tak menguasai permasalahan di dalam tugasnya. Lalu siapa yang memperdagangkan jabatan atau posisi menteri ini? Jawabnya secara logis adalah tentu elit-elit parpol peserta Pilpres yang di benaknya selalu berpikir tentang untung-rugi dalam soal dagang-berdagang. Sebagai contoh, pernah beredar kabar saat penyusunan kabinet dalam Pilpres beberapa tahun yang lampau, terdapat seorang figur calon Menko sempat dibandrol dengan harga Rp 500 miliar. Parahnya, uang sebesar itu tidaklah semuanya dipakai untuk pendanaan pemenangan Pilpres, melainkan lebih dari separuhnya ditilep masuk ke kantong pribadi oleh si pedagang jabatan menteri tersebut. Inilah kabar santer yang merupakan gambaran nyata dari sebuah tragedi demokrasi yang terjadi di negeri ini, dimana suara rakyat dikhianati oleh orang-orang partai dan dijadikan ajang atau kesempatan menjual suara rakyat untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai catatan dari saya, cara-cara seperti ini seharusnya bisa jadi perhatian dari semua pihak, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, peluang terjadinya korupsi akan sangat memungkinkan terjadi pada kelompok ini. Artinya, di dalam kelompok 1 dan 2 saja bisa terjadi korupsi, maka apalagi pada kelompok 3 ini tentulah korupsi lebih berpeluang lagi bisa terjadi. SALAM PERUBAHAN 2014...!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun