Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Belum Kerja, Jokowi Sudah Main Kurangi Subsidi. Siapa yang Pemalas?

5 Desember 2014   17:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:59 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADA Pilpres 2014 kemarin, calon pasangan presiden Jokowi-JK benar-benar telah berhasil menjual tampang yang terlihat kerakyatan dengan 1001 macam janji-janji yang sangat pro-rakyat. Tetapi setelah terpilih, Jokowi-JK malah menjalankan kebijakan neoliberalisme yang utuh. Bahkan saat ini pemerintah cenderung menyalahkan dan menuduh rakyat macam-macam.

Menteri ESDM, misalnya. Ia menggambarkan, bahwa rakyat selama ini menjadi malas karena terlalu diberi kesenangan dan kenyamanan melalui subsidi BBM. Olehnya itu, katanya, pemerintah Jokowi-JK ingin mengeluarkan rakyat dari zona nyaman tersebut.

Artinya, karena rakyat dinilai telah terbuai dengan kenyamanan tersebut, maka pemerintah pun harus mengurangi subsidi BBM dengan cara menaikkan harganya agar rakyat tidak lagi jadi malas. Lucunya, pemerintah malah mengeluarkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), yakni semacam BLT, yang justru kartu semacam ini bisa mengajari rakyat untuk tetap berada di zona nyaman dan jadi malas.

Sekarang, mari kita menanyakan kepada diri masing-masing: Apakah memang kita (rakyat) jadi malas karena adanya subsidi BBM dari pemerintah? Atau sebaliknya, malah pemerintah yang malas mencari jalan keluar terhadap persoalan BBM tersebut??? Sebab, pemerintah belum apa-apa (belum bekerja) tetapi sudah langsung menaikkan harga BBM.

Nampaknya, pemerintah sangat keliru memandang rakyat dengan berbagai permasalahannya yang sudah begitu sangat kompleks. Pemerintah seperti ini amat egois dan arogan, tidak memahami tugas dan fungsinya, serta tidak menyadari mengapa ia dipilih menjadi pemerintah?!

Nampaknya, pemerintah baru ini tak hanya menyakiti hati rakyat, tetapi juga sepertinya bermaksud ingin membunuh pelan-pelan rakyat miskin dengan cara menambah beban berat hidup mereka. Sebab, dengan kenaikan harga BBM, kebutuhan dan biaya hidup juga otomatis semakin tinggi, yakni harga-harga kebutuhan pokok yang juga ikut naik. Sementara di sisi lain pemerintah yang belum melakukan gebrakan apa-apa itu sudah langsung menaikkan harga BBM, dengan alasan agar rakyat tidak lagi jadi malas.

Alasan dan pandangan yang dikemukakan oleh Menteri ESDM itu pun menuai kecaman dari banyak pihak. Salah satunya dari Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Dr. Rizal Ramli. “Itu pendapat sangat kanan sekali, nyaris fasis. Karena nggak ada hubungannya rakyat malas dengan harga BBM,” ujar Rizal Ramli kepada zonalima.com.

Nampaknya Menteri ESDM tak punya alasan baku yang bisa diterima secara akal sehat. Sebab, menurut Rizal Ramli, setelah menuduh rakyat malas akibat subsidi BBM, Menteri ESDM itu pun selanjutnya memunculkan alasan lain lagi.

“Kemudian, beberapa waktu lalu ngomong lagi, kita naikin BBM itu buat ngurangin kemiskinan. Kenapa dinaikin Rp2000? Naikin aja sekalian Rp1 juta biar berkurang sekalian orang miskin. Bukan hanya soal logikanya, tapi yang lebih penting bagi saya adalah keberpihakannya. Ini keberpihakan yang fasis gitu lho. Selalu nyalahin rakyat, nyalahin rakyat nggak bisa apa-apa. Rakyat kita nggak malas,” lontar Rizal Ramli.

Dalam soal BBM, kata Rizal Ramli, pemerintah kita dari rezim ke rezim selalu saja sibuk dengan urusan hilir, yaitu tentang harga. Begitu ada tekanan terhadap APBN, langkah yang diambil selalu menaikkan harga BBM. “Ini langkah pemerintah yang malas dan tidak kreatif. Akibatnya rakyat yang selalu menjadi korban,” kata Rizal Ramli yang juga pernah menjadi Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Ekonom Senior yang juga saat ini sebagai anggota penasehat ekonomi di badan dunia (PBB) ini pun berkesimpulan, bahwa pemerintahan Jokowi hanya tidak ada bedanya dengan rezim sebelumnya. “Lebih ironis lagi, besarnya kenaikan yang Rp2.000 per liter itu persis dengan desakan Bank Dunia. Ini (sekaligus) mengkonfirmasi, siapa sesungguhnya yang men-drive kebijakan ekonomi di negeri ini. Jargon berpihak kepada rakyat yang digembar-gemborkan Jokowi, ternyata palsu belaka,” pungkasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun