"Waalaikum salam." Aku menjawab dengan pelan. aku tidak ingin tangisku terlihat oleh musafir itu.
Aku melihatnya menjauh dengan jalan terseok-seok lelah dan hilang di ujung. Sementara mataku memalingkan ke arah kaffe tadi yang penuh manusia yang usai berbuka dan diam memegang ponsel dengan asyik. Aku merenung, kapan orang-orang ini mermaikan rumah Tuhan bukan kaffe sedangkan Tuhan sedang menunggu kehadiran orang-orang yang usai berbuka lalu memuji Dzat-Nya. Dari sana aku berkesiap pergi dan berlalu menuju langgar untuk sholat maghrib.
Namun, setelah sampai langgar, aku kaget saat melihat musafir tadi tergeletak tak sadar di atas sajadah lalu merebahkan kepalanya yang bersisa isak tangisnya di atas foto keluarganya dari dompet miliknya. Sepertinya ia sangat merindukan keluarganya dan rela pergi jauh mencari pekerjaan bermodal keringat memoles dahinya demi kebutuhan anak-anaknya. Aku disana tersungkur jatuh dan menitikkan air mata sejadi-jadinya. Merasakan kepedihan orang tuaku saat mencari uang untuk kebutuhanku. Lalu, aku dekati musafir tadi dan meremas kepal jemarinya;
"Sungguh beruntung destinasi bapak ini, berakhir di pelukan Tuhan dan menerima kesederhanaan lewat ibadah puasa dan sholatnya." Gumamku dalam hati.
Lalu aku berujar, "Kapan keramaian ini berakhir dan kapan orang-orang mengingat Tuhan diantara maghrib dan isya' meski sedang bercanda ria dalam acara sahabatnya?"aku memeluk badan musafir ini dengan mata terus mengucurkan rintik air kesedihan.
Bandung, 2019