Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ada yang Bertanya Kapan Keramaian Ini Berakhir

26 Mei 2019   02:44 Diperbarui: 26 Mei 2019   05:52 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepi dalam keramaian, mungkin itu yang tepat bagi sinopsis kisah ini -- celoteh penulis

Satu tanganku menggenggam kresek hitam berisi jajanan sore begitu pula tangan yang satunya. Sebelum berpisah, sempat lengkung bibirku agak menjulurkan senyum kepada penjual kolak pisang. Ia pun memberi muka sumringah yang begitu teduh dan tamah. Kami, pada akhirnya berpisah di pematang sore.

Jalanan sudah ramai sedari tadi. Lampion pinggiran kota berkerlap-kerlip, lampu kedai sisi jalan pun menjadi penerang yang syahdu, gerobak-gerobak  buah berjarak 3-5 meter berjejer membentuk barisan infantri. Sahut-sahutan para pedagang menyapa pedestrian yang sibuk mencari jajanan sebelum maghrib tiba.

Satu per satu ada yang singgah dan duduk sabar menanti antrean. Ada pula yang hanya berlalu ke area jajanan yang lain sekadar berburu sensasi. Jalanan hari itu bagai kolam-kolam renang massal, semua melayap dan merambahi tepian aspal, berenang diantara keramaian, begitu pula padatnya motor dan mobil berkejaran di lintasan jalan sebelum maghrib mencegat pulang.

Orang-orang berduyun masuk ke kaffe atau tempat kumpul sederhana . Bertukar simpul senyum dibalut dekap hangat tangan kerabat dan sahabat. Bersimbah tawa dan canda seketika bertemu. Lima-enam orang saling bercakap dan mengenang keakraban saat itu. Dalam kaffe, meja-meja sudah terisi penuh. Nyaris mahasiswa dan orang sehabis pulang kerja berkumpul disana sembari menyantap buka puasa. Pelayan yang sibuk mendata menu berbuka. Bolak-balik menggiring daftar menu dan talenan pesanan. Sementara aku di seberang kaffe itu, selesai membeli takjil kolak pisang.

Suasana ramai dan begitu riuh seakan menyebar dan menyelinap di sela-sela sore, memendarkan kesan istimewa yang berjatuhan dari langit, membentuk partikel indah nan mendesir hati. Jam menunjukkan sebentar lagi waktu berbuka. Aku masih di tengah jalan sedangkan rute pulang ke rumah terbilang jauh. Sepertinya, waktu tidak menjamin kepulanganku untuk berbuka. Di pinggiran jalan, aku duduk diam sambil membuka hasil belanjaku sore tadi: kolak pisang dan tahu goreng. Bersama orang-orang yang simpang siur di jalan bisa dikatakan juga buka bersama meski tidak bersama di sekelilingku. Tukang parkir, tukang buah, tukang pecel lele dengan lampu redup juga sama tengah menunggu adzan maghrib.

Empat menit berlalu, suara micropone masjid siap mendengungkan adzan. Orang-orang bersiap pula menyantap hasil perburuan takjil. Yang di kaffe, piring dan gelas berisi teh manis segar terhampar rapi di atas meja. Sambil bersiap doa berbuka, orang-orang disana seakan sudah tak sabar dan makanan lezat di depan matanya menggiurkan selera. Waktu berbuka tiba. jalanan masih tak sepi dari kendaraan. Sahut-sahutan klakson mewarnai sore dan membasahi suasana berbuka dengan keadaan ramai. Ada yang sempat mengitari kemacetan dengan berbagi kebahagiaan, takjil gratis, dan salam hangat semanis kurma. O, syahdunya.

Aku ikut duduk menikmati takjil tadi, mengajak tukang dagang di sebelahku untuk bersegera berbuka. Semuanya melepas dahaga dan letih selama seharian berpuasa. Tetapi mataku masih terpaku menatap dari balik tetingkap kaca kaffe dengan mata berbinar; orang-orang berbuka dengan perasaan bungah. Menyicip kurma pesanan tadi, meneguk teh segar di bibir gelas. Ditatapnya saling tertawa berbagi keseruan tentang pengalaman masing-masing. Sepertinya acara alumni atau teman sekelas atau semeja kerja. Ada yang diam-diam memotret kebahagiaan mereka lalu ditayangkan di media sosial mereka. Menebar senyum dan perasaan senang melingkupi mereka.

Aku sendiri menatap mereka dengan senang meski diriku hampa tanpa teman.

Setiba setengah jam berlalu, orang memanggul tas dan keringat terlihat memoles dahinya, sepertinya usai berpergian jauh dan datang memasang wajah lesu. Bisa dikatakan musafir. Baju  berdebu dan celana tersingkap kelelahan yang teramat. Ia datang sambil bertanya kepadaku;

"Permisi, wartel daerah ini ada dimana ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun