Mohon tunggu...
Amri Maulana Muhammad
Amri Maulana Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Airlangga

Kegagalan terjadi ketika seseorang menganggap setiap hari adalah hari yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam dan Pancasila: Mengapa Masih Ada yang Memperdebatkannya?

6 Juni 2022   23:39 Diperbarui: 6 Juni 2022   23:46 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

           Sekitar 3 abad lebih bangsa Indonesia, yang saat itu dikenal bangsa Hindia, diduduki oleh Kolonial Belanda. Segala sumber daya, baik alam maupun manusia, diambil secara paksa untuk kepentingan Pemerintah Kolonial. Hanya segelintir golongan yang mampu mengenyam pendidikan formal. Itupun setelah adanya politik balas budi yang dicetuskan Van Deventer pada tahun 1901 dan hanya didominasi golongan priyayi, dengan mayoritas berpemikiran nasionalis-sekuler, yang mampu menjangkaunya. Sedangkan golongan Islam, khususnya islam tradisional, yang memiliki basis di pedesaan lebih memilih mengenyam pendidikan di pesantren. Terdapat dua aspek atas hal tersebut. Pertama, tidak terakomodirnya golongan islam dalam pendidikan formal yang diselenggarakan Kolonial Belanda. Kedua, doktrin yang disebar oleh para kiai dan ulama bahwa Kolonial Belanda membawa misi gospel, yaitu misi kristenisasi pada daerah yang didudukinya, sehingga harus diwaspadai. Hal itu secara langsung menjadikan golongan priyayi yang nasionalis-sekuler itu lebih dekat dengan Kolonial Belanda daripada golongan islam. Namun, pada tahun 1937 golongan islam membuat menghimpun kekuatan dengan membuat Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang kemudian berkerjasama dengan golongan nasionalis-sekuler dan mendukung wadah Gabungan Politik Indonesia (GAPI) untuk memperjuangan Indonesia melalui parlemen.

            Pada bulan Maret 1944, Jepang datang ke Indonesia. Kedatangannya merupakan angin segar bagi golongan islam, selain karena kabar berkembangnya pemeluk islam di Jepang, juga oleh sikap condong Jepang terhadap golongan Islam. Walaupun sebelumnya terjadi represifitas Jepang atas larangan Sheikerei bagi umat islam, tapi Jepang kemudian meminta maaf dan mendukung berjalannya himpunan organisasi islam dengan membuat Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Selain itu terdapat beberapa kebijakan jepang yang menguntungkan golongan islam, salah satunya seperti pendirian organisasi paramiliter islam, Laskar Hisbullah. Hal itu membuat golongan islam menjadi lebih dekat dengan Jepang, berbanding terbalik dengan golongan nasionalis-sekuler. Hal itu terjadi karena Jepang berhati-hati dengan golongan nasionalis-sekuler yang dulu dekat dengan Kolonial Belanda, yang malah jika didekati maka akan menjadi bumerang bagi Jepang. Walaupun pada akhir kependudukannya, Jepang juga ikut merangkul golongan nasionalis-sekuler karena butuh dukungan untuk mempertahankan jajahannya dari sekutu barat, salah satunya dengan pelibatan berbagai tokoh, baik islam maupun nasionalis-sekuler, dalam BPUPKI sebagai persiapan dalam menyongsong Indonesia merdeka seperti yang dijanjikan oleh Jepang.

            Pertentangan terjadi mengenai dasar negara apa yang akan dipakai oleh Indonesia pada pembahasan Tim 9, yang ditugasi oleh BPUPKI untuk merumuskan dasar negara. Perbedaan perlakuan antara golongan islam dan nasionalis-sekuler selama masa kependudukan menambah pertentangan yang telah ada. Selain itu, timbul juga kecurigaan dari golongan islam kepada Soekarno karena pemikirannya mengenai islam yang terinspirasi oleh Mustafa Kemal, tokoh sekuler Turki. Untuk mengakomodir golongan islam, dimasukkanlah 7 frasa pada sila pertama berupa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya pada rumusan yang disebut sebagai Piagam Jakarta. Pada sore hari setelah proklamasi kemerdekaan, Wakil Ketua PPKI Moch, Hatta mendapati keberatan dari golongan timur, yang mayoritas beragama Kristen dan katolik, agar menghapus 7 frasa pada sila pertama diatas karena dianggap diskriminatif kepada golongan minoritas. Jika tidak, mereka mau bergabung dengan negara Indonesia. Perwakilan golongan islam pada saat itu, diantaranya Wahid Hasyim, berkompromi dengan menyetujui penghapusan tersebut. Kemudian sah dan berlakulah dasar negara yang Bernama Pancasila. Hal itu sekaligus meredakan pertentangan mengenai dasar negara.

            Tahun 1955, dibuatlah dewan konstituante untuk merumuskan dasar negara, setelah berlakunya UUD sementara pada tahun 1950. Pertentangan mengenai dasar negara, Pancasila atau Islam, Kembali mengemuka. Diakhir masa kerjanya, konstituante mengambil suara mengenai dasar negara karena tidak adanya mufakat dalam pembahasannya. Hasilnya 50 persen lebih memilih Pancasila dan sisanya memilih islam. Karena tidak adanya suara yang mencapai 2/3 dari mayoritas, maka tidak keluar hasil yang disepakati, hingga Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang salah satunya berisi pemberlakuan Kembali UUD 1945.

            Pada saat Orde Baru berkuasa, Presiden soeharto memberlakukan adanya asas tunggal pada setiap partai politik dan organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Hal itu menimbulkan kecurigaan, keengganan, bahkan penolakan dari berbagai organisasi agama, tidak hanya agama islam melainkan agama-agama lainnya. Melalui obrolan intensif antara Presiden Soeharto dengan KH. Asd Syamsul Arifin dan KH. Achmad Shiddiq yang merupakan pimpinan Nahdhatul Ulama' (NU), diperoleh pemahaman bahwa Pancasila tidak akan menggeser agama dan agama tidak akan dipancasilakan. Pemahaman tersebut membuat NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi, tanpa harus meninggalkan Ahlussunnah wal Jamah sebagai dasar akidah.

Penerimaan itu dirumuskan kedalam sebuah piagam Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam pada Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983. Hal itu dianggap kontroversial, tapi argument yang rasional dan proporsional membuat deklarasi itu dapat dipahami dan Ketika pemerintah menerapkan asas tunggal pada tahun 1985, langkah penerimaan tersebut diikuti oleh berbagai organisasi islam lainnya. Hal tersebut sekaligus mengakhiri pertentangan mengenai Pancasila dan Islam.

Namun, setelah reformasi terdapat beberapa pihak yang mempertentangkan kembali antara islam dan Pancasila, diantaranya ada yang ingin memberlakukan NKRI bersyariah, bahkan mendirikan khilafah. Mengapa hal itu terjadi?

Pertentangan mengenai hal itu hadir karena adanya pihak yang tidak puas akan implementasi Pancasila saat ini. Berbagai masalah negara, seperti kemiskinan dan korupsi yang jelas bertentangan dengan sila ke 5 dari Pancasila. Pihak-pihak tersebut menyalahkan Pancasila sebagai biang dari masalah yang ada. Padahal, yang menyebabkan masalah itu terjadi adalah perilaku korup yang berlangsung, mungkin telah menjadi budaya, dalam kehidupan masyarakat. Penggunaan joki dalam mengerjakan tugas kuliah dan kebiasaan titip absen dalam lingkungan mahasiswa merupakan contoh kecil dari perilaku korup yang terjadi di masyarakat. Jangan terlalu melihat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, itu hanya hilir. Hulunya berada pada kampus, yang merupakan dapur untuk menghasilkan individu penerus estafet kepemimpinan bangsa. Jika di dapur saja sudah begitu, apalagi saat sudah disajikan?

Dalam kehidupan masyarakat luas, budaya seperti tidak bisa antri, uang pelicin saat pengurusan izin, hingga kebiasaan "ngaret" telah menjadi tontonan sehari-hari. Anak-anak di sekolah juga libatkan dalam perilaku korup seperti adanya guru yang membantu siswanya dengan "curang"dalam pelaksanaan ujian di sekolah demi baiknya citra sekolah. Lengkaplah sudah perilaku korup menjadi budaya dalam masyarakat.

Kembali lagi bahwa masalah yang terjadi bukan karena pancasilanya, tetapi akibat individu yang melenceng dari Pancasila dalam menjalankan negara. Bukan jaminan jika Islam menjadi dasar negara akan menyelesaikan permasalahan yang ada dalam negara. Solusi yang ada untuk meredam pihak yang memperdebatkan Pancasila dengan islam saat ini adalah dengan kembali mendalami nilai Pancasila, menginternalisasikan, sekaligus mengimplementasikannya. Khususnya pada sila ke 5, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jika sila ke 5 dapat diimplementasikan, maka akan hadir kesejahteraan bagi masyarakat karena adanya keadilan dalam penegakan hukum dan distribusi kekayaan yang memberikan efek pada turunnya ketimpangan sosial di masyarakat. Hal itu menjadi antitesis dari pemikiran pihak yang menyalahkan Pancasila atas permasalahan yang terjadi, sekaligus bukti konkrit bahwa Pancasila merupakan bekal sebagai dasar negara yang tepat dari founding fathers untuk mewujudkan negara Indonesia yang adil, Makmur, dan sejahtera.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun