Lihat ke Halaman Asli

zaldy chan

TERVERIFIKASI

ASN (Apapun Sing penting Nulis)

Benarkah Salah, Keliru dan Mengeluh Sudah Menjadi "Gaya Hidup"?

Diperbarui: 15 Mei 2020   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrated by pixabay.com

"Bang aku udah nulis. Tapi banyak typo!"

"Oh! Hajar aja. Aku juga sering typo!"

"Tapi..."

"Typo itu tanda kita menulis. Jadi aneh kalau typo saat bernyanyi!"

Ini adalah percakapanku di sebuah WAG Menulis. Typo atau saltik (salah ketik) acapkali menjadi duri saat menulis. Karena kelebihan atau kekurangan huruf, atau malah salah menggunakan huruf. Sehingga ada yang menganggap, jika saltik itu aib. Hiks...

Terkadang, bisa dimaklumi anggapan itu. Adakalanya, saltik yang dilakukan bisa mengubah makna. Semisal mau menulis kata "budaya". Karena kurang huruf "d", akhirnya yang tertulis "buaya".

Coba bayangkan, jika pada judul tulisan "Musik Angklung, Budaya Asli Indonesia." Malah ditulis "Musik Angklung, Buaya Asli Indonesia." Parah, kan?

Illustrated by pixabay.com

Apakah Tak Boleh Salah?

Jika ditanya padaku? Saltik itu terjadi, karena kita menulis. Kalau tak pernah menulis atau hanya membaca, tak akan pernah saltik. Sama seperti nasehat ahli hikmah saat aku kecil dulu, "Gak keren pandai bersepeda, jika tak pernah merasakan jatuh dari sepeda!" Tuh, kan?

Namun seiring waktu serta pengalaman, tentu saja saltik itu bisa diminimalisir, tah? Sama seperti, rasa malu jika sudah tua masih jatuh dari sepeda! Padahal Jatuh dari sepeda bukan hanya "hak" di masa kecil.

Pasti banyak alasan serta kemungkinan yang bisa diajukan, menjadi penyebab jatuh dari sepeda, walau usia beranjak tua. Terus, bagaimana dengan kesalahan di luar menulis?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline