Tidak semua racun datang dalam bentuk cairan berbahaya. Ada racun yang hadir dalam bentuk candaan, gosip, dan tatapan sinis. Ia tumbuh pelan-pelan, membuat ruang kerja kehilangan kehangatannya. Ia menjauhkan orang-orang dari tujuan awal: bekerja dan berkarya. Racun itu bernama toxic workplace.
Cerita dari Sebuah Grup WA
Dalam sebuah obrolan empat mata, seorang teman berkisah bahwa ia tengah merasakan ketidaknyamanan dalam bekerja.
Awalnya ia merasakan suasana yang menyenangkan dengan teman-teman yang tampak akrab dan penuh canda. Ia merasa seolah masuk dalam sebuah keluarga baru. Namun, di balik keramahan itu, tersimpan lingkaran eksklusif.
Ia kemudian diajak masuk ke sebuah grup WhatsApp rahasia. Grup itu hanya berisi sebagian karyawan yang “sefrekuensi.” Awalnya ia mengira grup tersebut sekadar wadah bercanda.
Namun semakin lama, isi obrolannya lebih sering berupa ghibah receh, sindiran, bahkan menjatuhkan rekan kerja lain yang dianggap berbeda pandangan.
Teman saya merasa tidak nyaman. Ia memilih keluar dari grup itu dengan alasan sederhana: ia ingin menjaga dirinya dari percakapan yang merugikan orang lain. Namun keputusannya justru menjadi titik balik. Ia mulai dikucilkan, dicari-cari kesalahannya, bahkan secara perlahan disingkirkan dari lingkaran kerja tertentu. Yang tadinya ramah berubah dingin. Yang tadinya tertawa bersama berubah menjadi tatapan sinis.
Pengalaman itu membekas. Dengan muka lesu ia mengatakan bilang, “Ternyata yang lebih melelahkan dari pekerjaan bukanlah deadline, tapi atmosfer kantor yang mengandung racun.”
Saya hanya mampu menjadi pendengar setianya karena sebenarnya saya pun mempunyai pengalaman yang hampir sama, hanya saja saya memilih untuk bertahan dan memilih untuk tidak ambil pusing dengan apa yang orang lain perbuat di belakang saya.
Apa Itu Toxic Workplace?
Istilah toxic workplace kini semakin sering dibicarakan. Namun, sebenarnya apa yang dimaksud?
Sederhananya, toxic workplace adalah lingkungan kerja yang tidak sehat secara emosional, mental, maupun sosial. Bukan hanya karena beban kerja, melainkan karena pola interaksi antar manusia di dalamnya.
Beberapa ciri yang kerap muncul antara lain:
- Adanya lingkaran eksklusif yang membuat sebagian orang merasa tersisih.
- Budaya gosip dan saling menjatuhkan, bukan budaya kolaborasi.
- Kurangnya apresiasi terhadap kerja keras, sementara kesalahan kecil dibesar-besarkan.
- Komunikasi penuh ketidakjelasan yang memicu konflik.
- Dominasi rasa takut: takut salah, takut dikucilkan, takut tidak sejalan dengan mayoritas.