Lihat ke Halaman Asli

Yusya Rahmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Siliwangi

Upin-Ipin dan Multikulturalisme

Diperbarui: 25 Mei 2020   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Upin dan Ipin (muslimah.com)

Apa yang terbesit dalam pikiran ketika mendengar kata Upin dan Ipin? Gambaran sosok dua anak kembar yang dapat dibedakan dengan warna pakaian dan rambut sedikit yang ada di kepala Upin, sehingga kita dapat membedakan yang mana Upin dan yang mana Ipin.

Kisah Upin dan Ipin ini berlatar belakang di sebuah kampung di Malaysia, nama kampungnya Kampung Durian Runtuh. Kampung yang terletak jauh dari kehidupan urban kota di Malaysia, hal tersebut diyakini dengan beberapa episode yang menunjukkan betapa jauhnya kampung ini dengan perkotaan.

Kehidupan Upin dan Ipin sehari-hari merupakan gambaran kehidupan sederhana seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun atau enam tahun. 

Di pagi hari pergi ke taman kanak-kanak atau tadika, siang hari bermain sampai sore dan kembali pulang kerumah. Kampung tempat tinggal Upin dan Ipin memiliki penduduk yang beragam, hal ini ditunjukkan dengan berbagai perayaan hari besar keagaman yang ditayangkan dalam Kisah Upin dan Ipin, dimana mereka sering mengikuti perayaan-perayaan tersebut.

Perayaan-perayaan tersebut diikuti dengan senang dan gembira, layaknya anak kecil pada umumnya yang polos dan selalu senang dengan keramaian. 

Selain itu ditemani dengan kawan-kawannya yang beragam, ada Mei-Mei dengan penggambaran seorang Tionghoa, lalu ada Jarjit yang menggambarkan orang India selain itu ada Susanti yang berasal dari Indonesia. 

Melihat pertemanan ini Kisah Upin dan Ipin mengajak penikmat serial ini untuk bertoleransi dengan sesama manusia walaupun berbeda agama, suku maupun ras.

Multikulturalisme yang ditunjukkan dalam Kisah Upin dan Ipin memang merupakan pencitraan multikulturalisme yang terjadi di Malaysia berdasarkan data penduduk disana, memang keadaan multikultural disana dengan orang Tionghoa, india dan juga Indonesia yang tinggal di Malaysia. Menunjukkan bahwa kisah Upin dan Ipin mengajarkan penikmatnya tentang arti keindahan dalam multikulturalisme itu.

Dalam beberapa kisahnya digambarkan bahwa multikulturalisme yang terjadi di kampung durian runtuh pada akhirnya berakhir dengan kesenangan dan kebahagiaan. Tidak ada kegusaran dan kekacauan yang tercipta di kampung durian runtuh. Perbedaan tersebut menjadikan multikulturalisme sebagai sebuah keindahan yang dapat dinikmati oleh penikmat setiap episode dalam kisah Upin dan Ipin.

Bagaimana implementasinya dalam kehidupan? Kisah Upin dan Ipin yang sudah hadir di televisi Indonesia hampir sepuluh tahun dan digemari oleh anak-anak rentang usia lima sampai sepuluh tahun, bahkan remaja ikut menggemari kisah kehidupan sehari-hari anak kembar ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline