Lihat ke Halaman Asli

Pulih

Diperbarui: 16 Maret 2024   03:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ku tatap diriku dalam cermin bulat,
Ku pandang lekat, lebih lekat,
Mataku digenangi air mata kemarin,
Kening ku biru,
bekas pukulan ia yang aku cinta sepenuh hati.

Ini tahun ke 3 aku menjalankan ibadah puasa ramadan di kota Medan. Menyenangkan rasanya bisa makan sahur dan berbuka dikelilingi oleh keluarga dan lingkungan orang-orang muslim. Di tambah di sini aku tinggal dengan nenek dan bibi ku. Mereka tulus menyayangi ku, aku bisa merasakan cinta mereka setiap hari.

Tidak mudah bagiku membuat keputusan untuk pindah ke medan. Aku lahir dan besar di Bali. Aku senang dan cinta dengan tempat di mana aku lahir. Orang-orang yang baik dan ramah, menjunjung tinggi kebinekaan. Berpikiran terbuka. Lingkungan yang nyaman dan bersih. 

Setelah aku bercerai, Bapak menyarankan aku untuk pindah ke kota ini. Dan di sini lah aku 3 tahun ini.
Bagi orang-orang yang baru mengenal ku di sini, mereka berpikir aku pindah karena ingin suasana baru. Di tempat aku bekerja sekarang, di lingkungan aku tinggal, siapa pun yang bertanya tentang mengapa aku memilih kota medan. Karena di sini aku punya keluarga yaitu nenekku, juga bibi dan saudara-saudara dari pihak Bapak. 

Namun tentu bukan itu alasan utama. Aku di sini karena aku terlilit utang yang sangat banyak. Utang-utang itu aku pinjam untuk mantan suami ku. Dan kini meski aku sudah berpisah darinya, aku masih tetap harus melunasi utang-utang itu. 

Aku lari, lari dari teman-teman yang percaya padaku. Pindah adalah jalan yang aku pilih.
Minggu- minggu pertama di sini aku masih banyak menangis dan tidak nafsu makan. Nenek tidak mengganggu ku, tidak menasehati apalagi menggurui. 

Beliau menunggu sampai aku bisa menerima apa yang telah terjadi. Sementara bibi ku, memperlakukan ku seperti seseorang tamu yang sedang berlibur di rumahnya. Setiap pagi bibi mengetuk pintu kamar untuk mengajak ku berjalan-jalan atau jogging. Sepulang dari kantor beliau mengajak ku makan di luar. Bibi selalu ceria. Tidak ada masalah yang menjadi masalah bagi-nya. 

Meski aku dalam keadaan stres berat, aku tetap membuat surat lamaran, dan melamar kerja ke beberapa kantor.  Aku di sini untuk mencari uang agar dapat membayar utang. Sebulan menganggur, bulan ke dua aku sudah bekerja. Gaji ku tidak besar. Tapi semua gaji itu bisa aku gunakan untuk membayar utang. Bibi ku yang baik, telah menanggung keperluanku. 

"Semua gajimu, gunakan untuk melunasi utang-utang mu. Untuk keperluan sehari-hari, gunakan uang bibi. Anggap saja ini adalah jajan mu. Waktu kamu kecil kamu jauh dari bibi, dan bibi tidak punya kesempatan memanjakan mu. Sekarang, bibi punya kesempatan, saat kamu berumur 29 tahun"  
Hatiku senang mendengar ucapan bibi, aku memeluk nya dan berterima kasih. Yang membuat aku senang bukan karena uang, tetapi aku merasa ada yang memberi cinta, dan cinta itu datang dari keluargaku, yang aku pikir tidak peduli padaku.

Luka itu tetap ada, membekas, rasa sakit hati karena telah mencintai dan berkorban untuk lelaki yang salah. Aku menikahi pria yang membuat hidupku gelap. Saat aku akan berangkat tidur, atau saat aku sedang tidak sibuk dengan ini dan itu. Pertanyaan mengapa dan mengapa terus saja mengganggu. 

Bibi yang melihat aku yang sering termenung, salah mengambil barang, sering mengulang pertanyaan yang sama, meski sudah di jelaskan. Mengerti bahwa aku harus dibantu seseorang yang paham ilmu jiwa.
Bibi tidak membawa ku ke klinik atau ke rumah sakit. Ia mengajak ku makan malam ke restoran di mana disajikan makanan Bali, dan dan memperkenalkan aku pada temannya yang selanjutnya menjadi sahabatku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline