Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Kenaikan Cukai Bikin Perokok Kapok? Ngomong Opo To Kowe!

Diperbarui: 8 November 2022   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani | Foto: Kompas.com

Kenaikan cukai tembakau yang berimbas pada meroketnya harga rokok kemasan membuat orang berhenti merokok? Ngomong opo to kuwe!

Mungkin masih membutuhkan survei lembaga kredibel, tapi bisa dipastikan tidak ada perokok aktif yang berhenti merokok hanya karena harganya melambung. Alasan utamanya karena dengan mudah dia berganti ke rokok lain yang lebih murah, bahkan jika terpaksa, masih bisa tingwe alias melinting sendiri.

Jadi kenaikan cukai rokok dengan jargon agar masyarakat berhenti merokok bukan saja tidak sesuai realita, namun sebentuk pemanis untuk menyembunyikan fakta lain. Sepertinya pemerintah memang punya kebiasaan baru dengan "menyalahkan" masyarakat setiap akan membuat  kebijakan yang berujung pada kenaikan harga barang.

Sebelum mencabut subsidi yang berimbas pada kenaikan harga BBM, pemerintah sibuk beretorika subsidi hanya dinikmati golongan mampu. Padahal faktanya, yang terimbas kenaikan BBM tetap saja rakyat kecil. Jika subsidi dinikmati orang kaya, bukankah mestinya orang kaya yang terimbas kenaikan BBM?

Bantuan sosial yang diberikan, yang disebut  agar subsidi tepat sasaran, hanya pemanis karena hanya diberikan sebesar Rp 600 ribu untuk 4 bulan. Padahal kenaikan BBM berlaku selamanya, bahkan ketika harga BBM dunia yang menjadi alasan lain kenaikan BBM, anjlok.

Kini pemerintah pun melakukan framing serupa ketika akan kembali menaikkan cukai tembakau yang berimbas pada kenaikan harga rokok. Selain bertujuan agar masyakat berhenti merokok karena harga (menjadi) mahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan sangat yakin menyebut konsumsi rokok rumah tangga miskin hanya kalah dari konsumsi bahan pokok (beras).

Dengan bahasa lain, masyarakat msikin lebih mendahulukan membeli rokok dibanding membeli kebutuhan protein seperti daging, telor atau bahkan tahu dan tempe.

Kita anggap asumsi Menkeu benar. Tetapi kembali ke fakta di atas bahwa kenaikan harga rokok tidak akan menghentikan kebiasaan merokok masyarakat. Jauh panggang dari api.

Kita justru curiga, karena adanya kebiasaan terlebih dahulu "menyalahkan" masyarakat sebelum membuat kebijakan menaikkan harga barang, pemerintah memiliki motif lain yang disembunyikan. Apa itu?

Mari kita lihat fakta ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline