Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Manhitu

Murid abadi: penulis dan penerjemah

Cinta Versus Pesona Intelektual

Diperbarui: 5 Agustus 2020   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: freepik.com

Oleh: Yohanes Manhitu*

MENCINTAI seseorang adalah suatu tindakan yang memanifestasikan rasa kasih sayang yang sangat manusiawi dan universal. Setiap insan ciptaan Tuhan memiliki hak, tidak hanya untuk mencintai tetapi juga untuk dicintai. Inilah salah satu wujud hak asasi manusia yang harus dihormati dan dipertimbangkan dengan nurani yang jujur. 

Semua orang yang menjunjung tinggi kejujuran dan ketulusan akan enggan berkata bahwa mencintai adalah suatu tindakan bodoh, dan bahwa cinta adalah suatu kebodohan.

Mencintai justru merupakan tindakan berahmat, dan cintai itu sendiri merupakan rahmat Ilahi yang patut disyukuri, dipelihara serta dipupuk agar tetap tumbuh dengan subur di petak-petak sanubari yang hijau dan segar, di kedua sisi aliran air sungai kehidupan yang tenang dan damai. 

Siapa yang ingin hidup tanpa cinta yang tulus di tengah dunia yang semakin dilanda krisis cinta yang tak bertepi? Bukankah banyak orang bersemadi dan menggunakan jasa paranormal atau dukun pelet untuk mengharapkan datangnya cinta yang tulus? Lalu mengapa takut mencinta?

Mencintai seseorang pasti ada pemicunya. Dengan kata lain, rasa cinta itu timbul karena ada faktor penyebabnya. Bukankah ada asap karena ada api? Dan faktor penyebabnya bisa berjumlah lebih dari satu. Salah satunya adalah kekaguman akan pesona intelektual seseorang. Hal ini sangat wajar, menurut pandangan penulis, karena pesona ini cukup menggoda bagi setiap insan.

Kekaguman akan pesona intelektual seseorang dapat menjadi pemicu rasa cinta yang ampuh. Tetapi bila mengagumi pesona intelektual seorang pribadi menjadi satu-satunya pemicu bagi suatu hubungan cinta, maka penulis yakin bahwa ada kemungkinan pada suatu saat bila si dia yang dikagumi kekurangan atau kehilangan pesona intelektualnya sama sekali karena alasan usia lanjut atau kecacatan tak diharapkan, maka si pengagumnya bisa meninggalkannya karena tak ada lagi pesona yang perlu dikagumi. 

Dan itu berarti cinta mereka pun akan terseret perginya kekaguman akan pesona yang dimiliki. Di mana ada pesona intelektual, di situ ada cinta.

Pada dasarnya, pesona intelektual, sama seperti ketampanan atau kecantikan (pesona rupa), adalah kelebihan yang dimiliki seseorang dan merupakan anugerah Sang Pencipta yang patut disyukuri. 

Berbeda dengan pesona rupa, pesona intelektual biasanya tidak langsung tampak secara fisik -- ia (mungkin) tampak lebih jelas lewat tindakan verbal, dan komunikasilah jembatannya. Setiap orang akan dengan mudah mengatakan si A itu tampan atau si B itu cantik tanpa membutuhkan waktu yang lama. 

Dengan menatap atau meliriknya sesaat saja, pujian itu bisa meluncur dari mulutnya, bahkan mungkin tanpa disadari. Tetapi untuk mengatakan bahwa si C pandai, seseorang harus menunggu lebih lama untuk mengambil suatu kesimpulan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline