Lihat ke Halaman Asli

heru suti

TERVERIFIKASI

Merdeka

Memahami Gareth Southgate dalam Pemilihan Penendang Penalti

Diperbarui: 14 Juli 2021   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gareth Southgate gagal melakukan tendangan penalti di Euro 1996 (Gambar: telegraph.co.uk)

Kegagalan timnas Inggris menjuarai Piala Eropa menyisakan berbagai bahasan perihal pelatih mereka terkait taktik, kelayakan atau pun pemilihan penendang penalti dalam adu penalti yang menjadi biang keladi kekalahan Inggris di final.

Tiga penendang gagal, yang ketiganya adalah anak muda berkulit hitam bahkan mendapat hinaan bernada rasisme yang memunculkan banyak kecaman dari berbagai pihak. Bagaimanapun memang seharusnya tidak ada tempat buat rasisme, nyatanya memang sebagian penduduk dunia  memang belum cukup cerdas untuk lebih dewasa hidup dalam menyikapi keanekaragaman wujud dan bentuk manusia. Stupid people ada di mana saja memang.

Southgate sendiri sudah menggarisbawahi bahwa yang bertanggungjawab dari kegagalan adu penalti adalah dia sebagai pelatih, bukan pemain.

Ya, orang boleh saja menghakimi Southgate terlalu gegabah menunjuk bocah 19 tahun sebagai algojo pennetu ketika masih ada banyak pemain senior yang lebih punya pengalaman.

Tapi, kalau kita melihat dari sisi Garteh Southgate, ada beberapa hal menarik yang bisa kita pahami.

Pertama, bagi Southgate ini memang perjudian. Ada faktor psikologis histroris yang membuat ia memilih untuk melakukan perjudian. Ada histori rentetan kekalahan Inggris dalam adu penalti. Southgate termasuk orang yang mengalami sendiri gagal melaksanakan tendanganpenalti dan membuat Inggris kalah. Yang perlu digarisbawahi adalah, Inggris sudah terlalu sering kalah adu penalti sehingga perlu cara yang mungkin tidak wajar untuk bisa keluar dari rentetan kekalahan itu. Di sini, opsi perjudian itu jadi bisa dipahami. Orang kepepet akan memilih untuk berjudi, trauma sering kalah, pernah merasakan kekalahan gagal penalti. Mencoba hal yang tidak wajar mungkin bisa merubah tradisi (kalah adu penali). Yang namanya berjudi, ya anda bisa menang dan juga bisa kalah tentunya.

Memilih Saka sebagai penendang terakhir adalah sebuah perjudian. Anak muda 19 tahun belum berpengalaman kok disuruh jadi penendang penentu? Banyak orang berkata begitu. Tapu tunggu dulu, penendang berpengalaman pun bisa dan banyak yang pernah gagal jadi penendang penentu. John Terry pernah kepleset waktu jadi penendang kelima buat Chelsea di final Liga Champions, kemenangan di depan mata ambyar seketika dan ujungnya Chelsea gagal juara.

Roberto Baggio pada Piala Dunia 1994 juga gagal jadi penendang terakhir Italia dan menjadi penyebab kekalahan Italia di final melawan Brazil. Saat itu, Baggio adalah pemain yang sedang dalam usia emas dan top performa. Dia adalah pemain terbaik dunia tahun 1993 dan menjadi pemain kunci Italia yang selalu mencetak gol penentu di tiap laga Italia di fase knockout. Pemain senior dan good perform tidak menjamin tim anda menang dalam adu penalti penalti di sebuah final kejuaraan besar.

Dari sisi Italia sendiri, penendang kelima mereka adalah pemain yang juga senior dan top perform, Jorginho si pemilik tendangan penalti yang penuh trik. Yang terjadi juga, tendangan Jorginho bisa ditepis Pickford. Faktor keberuntungan sangat berperan ihwal adu penalti ini. Mungkin kedepannya, para penendang Inggris perlu mendapat ruwatan khusus agar hilang semua kesialan yang selama ini setia menemani mereka dalam setiap laga adu penalti. Aih...

Dengan pemahaman dan histori seperti itu maka mencoba bocah 19 jadi penendang penentu mungkin bisa jadi solusi. Saka bisa jadi kejutan buat Donnarumma. Lagian Donnarumma juga anak muda, anak muda ya dilawan anak muda, klop bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline