Lihat ke Halaman Asli

Wuri Handoko

TERVERIFIKASI

Peneliti dan Penikmat Kopi

Buruh Londo yang Bengal dan Kanjeng Wedana yang Membingungkan

Diperbarui: 11 Oktober 2020   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Cerpen. Sumber: jernih.co

Siang itu, Wedana Orambagei dibuat pusing tujuh keliling oleh ulah Tarman, buruh londo yang bengal. Tarman, mengancam mogok kerja. Padahal dia posisinya sangat vital. Kemudi mesin untuk mengolah getah karet dia yang pegang. Selain itu Kawedanan Patgulipat sangat mengandalkan produksi karet sebagai penghasilan utama di wilayah pemerintahan kawedanannya. Bagaimana, dia mau menyetor pajak dan upeti, kalau produksi karet mati. 

Selain itu, Kanjeng Wedana juga ketakutan kalau produksi karet macet. Kontrolir Belanda yang mengawasi kendali pemerintahannya bisa memberinya sanksi. Dicopot atau bahkan hukuman mati. Kontrolir lebih berkuasa daripada adipati atau penguasa distrik dibawah pemerintahan gubernemen Antahberantah. Kontrolir juga terkenal kejam, bukan hanya kepada rakyat jelata, juga kepada para pejabat lokal. Salah sedikit, dia bisa menyuruh prajuritnya menggunakan senjata untuk menghabisi. 

Tarman dan para buruh mengancam mogok kerja, karena sekian lama gajinya tidak dinaikkan. Juga konon para buruh keberatan karena tidak lagi mendapat ijin cuti. Selain itu yang lebih memberatkan lagi, para buruh sewaktu-waktu bisa diberhentikan tanpa pesangon. Kabar angin yang belum jelas kebenarannya. Tapi kabar angin itu terlanjur menyebar ke seluruh telinga para buruh yang dipimpin oleh Tarman. Entah darimana kabar angin itu. Kabar angin yang tidak jelas asalnya. Namun sudah kadung, santer didengar dan dipercaya oleh Tarman dan kawan-kawan buruhnya.  

Wedana Orambagei, berpikir panjang. Semalaman dia cari akal, agar Tarman hilang bengal, menurut dan tak jadi mogok kerja. Kanjeng Wedana mengutus bawahannya untuk menemui Tarman. Kalau bisa sekalian membujuk dan merayu Tarman. Jika perlu, sekalian bawa gadis abdi dalem kawedanan ikut serta. Berharap Tarman luluh dan menuruti kemauan kanjeng wedana. 

Pergilah utusan wedana itu menemui Tarman. Dibawanya serta uang segepok dan gadis-gadis cantik untuk meluluhkan Tarman. Sampai di depan pintu rumah Tarman. Berhentilah rombongan itu. Saat beranjak masuk rumah Tarman, yang terlihat kokoh itu. Tarman sudah menghadang di depan pintu. 

'Hai kisanak, mau apa gerangan kalian beramai-ramai ke rumahku, aku sedang malas menerima tamu" kata Tarman sambil memlintir kumis tebalnya yang melengkung bak sepatu Aladin. 

Melihat tampang Tarman, utusan wedana tampak ciut nyalinya. Seperti warog Ponorogo saja ini tampang Tarman. Demikian, utusan wedana itu membatin, begitu lihat tampang Tarman, yang tidak saja kelihatan bengal, namun tampak pula kejam. Maka, untuk menenangkan hati dan meredam suasana, ia justru berbisik kepada dua gadis cantik yang di bawanya serta. 

"Bilang ke tuan Tarman, Kanjeng Wedana, mengundangnya makan malam sebentar di kediaman Wedana" bisik utusan itu kepada salah satu gadis yang ikut rombongan. 

Tarman, rupanya mendengar bisik-bisik utusan itu. Iapun berkata, bahwa dirinya tidak akan memenuhi undangan wedana yang culas itu. Tarman berpikir, saat dia sampai di rumah wedana, sudah ada geliat siasat Wedana untuk menangkapnya atau membujuknya, agar tak mogok kerja. Atau memaksanya untuk menandatangani perjanjian antara wedana dengan para buruh karet di perusahaan kawedananan itu. 

"Wahai utusan Wedana, sampaikan kepada tuanmu yang culas itu, saya tidak akan datang ke undangannya, jangan paksa saya, kecuali kalian memang sudah siap berperang denganku" demikian Tarman, sang buruh bengal itu menantang rombongan utusan wedana itu. 

"Baiklah Tuan Tarman, saya hanyalah utusan, dan soal perang bukan kami yang menentukan, tapi Kanjeng Wedana" jawab utusan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline