Lihat ke Halaman Asli

Wiwien Wintarto

TERVERIFIKASI

Penulis serba ada

TV Internet Bakal Tak Terhindarkan

Diperbarui: 23 Mei 2016   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: Blueline)

Sekitar dua dekade lalu, saat masih masih kuliah (hingga semester bonus plus plus), topik diskusi di kelas kerap berkaitan dengan internet. Kala itu, menjelang pergantian abad dan milenium, internet sudah ada namun masih mirip kisah dongeng. Dan berkaitan dengan jurnalisme dan media massa, para dosenku di STIK (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi; sekarang jadi STIKOM) sering bicara soal internet yang akan mengubah media menjadi berwatak assynchronous.

Artinya, audiens tak sinkron lagi dalam menerima isi media. Pada zaman kuno, kita kan seragam dalam hal itu. Koran pagi, majalah mingguan, channel TV, semua menghadirkan hal-hal yang sama dan dalam urutan yang sama. Mulai presiden, miliuner, sampai tukang cukur dan pemulung, semua mendapatkan jatah yang sama. Tinggal terserah masing-masing dari kita, dalam paket-paket itu, bakal milih untuk menikmati yang mana dulu.

Internet dan perkembangan teknologi dari analog ke digital bakal mengubah total hal itu. Kita tak akan lagi sinkron dalam menerima terpaan media massa. Yang masuk ke rumah kita sudah akan beda dengan di rumah sebelah, dan sebelahnya lagi. Audiens akan memiliki kontrol yang lebih luas terhadap isi media yang seperti apa saja yang diizinkan masuk dan mana yang tidak.

Karena belum tahu apa itu internet, kala itu aku menghapalkan saja isi kuliah dari sang dosen. Pencerahan baru muncul saat teknologi MP3 mulai lahir. Pada era pita kaset, kita menerima satu paket utuh berisi playlist antara 10 hingga 18 lagu. Kita menikmatinya secara urut, dari nomor 1 ke nomor paling akhir. Kalau ingin njujug ke item kelima, misalnya, ya tetap saja harus maju secara linier lewat tombol FF (fast forward) di perangkat pemutar.

Kehadiran MP3 membuat kita berwenang memilih item-item secara bebas dan acak untuk kita rangkum dalam playlist temporer ke dalam software pemutar seperti Winamp atau Jet Audio. Tak ada lagi paket “playlist paksa” yang disodorkan ke kita. Hendak mendengarkan Michael Jackson jadi satu dengan Dawin, Crowded House, Romaria, sama Linda Cerella pun bisa. Semua terserah kita, audiens.

Maka ketika kemudian media-media daring bermunculan, baik yang mandiri maupun yang merupakan versi daring dari media cetak, aku langsung mudeng dengan isi kuliah dulu itu. Ketidakserempakan terjadi tak saja dalam cara audiens menerima isi media, melainkan juga dalam cara media menyiarkan content. Bila media lama melakukan penyiaran atau update isi secara berkala (harian, mingguan, bulanan), maka media daring bisa melakukan update kapan saja begitu ada perkembangan di lapangan.

Media massa pun tak lagi menjadi paket-paket yang disorongkan ke wajah kita whether we like it or not, melainkan lebih mirip gadis di akuarium—terserah audiens mau ambil yang mana. Konsekuensinya, gadis-gadis di akuarium itu harus tampil seatraktif mungkin untuk memperbesar peluang keterpilihan. Maka mereka pun muncul dengan foto yang bombastis, judul yang fantastik, dan lead berita yang bikin gelisah (kadang ternyata hoax, tapi tetap di-share dengan penuh semangat sekalipun kasusnya sudah lama berakhir dan terselesaikan!).

Ini tentu tak terjadi pada media cetak saja, melainkan media elektronik terutama televisi. Kita tak lagi menerima acara-acara yang sudah diurutkan paten sejak pukul 6 pagi sampai pukul 6 pagi pada hari berikutnya, melainkan terserah kita. Bila TV konvensional membuat kita harus menunggu sampai pukul 19 nanti malam untuk nonton Quantico, misalnya, TV daring memungkinkan kita langsung menyaksikan tayangan yang kita maui tersebut detik ini juga.

Khusus mengenai TV, itu merevolusi segalanya. Tayangan-tayangan tak lagi disiarkan urut kacang secara berkala dan berkelanjutan (entah mingguan atau harian alias stripping), melainkan langsung tersaji utuh satu paket dalam basis data TV. Kita lah yang akan men-streaming-nya secara berkala. Bisa perhari atau perjam (habis episode 1, langsung episode 2 dan 3, karena kadung penasaran) atau per kapan saja saksempatnya.

So, tayangan-tayangan juga cenderung tak akan diproduksi secara urut mengikuti jadwal tayang, namun diproduksi penuh sepaket, tergantung paketannya ada berapa episode. Sinetron diproduksi dalam mini seri (10-20 episode tamat) seperti di Korea atau menggunakan model seasonal (musiman) seperti di AS atau Inggris (10-24 episode dengan cliffhanger pada season finale untuk disambung season lanjutan pada tahun berikutnya).

Syuting kejar tayang dengan pola unlimited episodes (mau berapa ratus episode terserah, sepanjang masih disuka pemirsa) ala opera sabun bakalan punah, sebab sudah tak ada lagi hari tayang yang mengikat. Sekalipun drama opera sabun sepanjang ratusan episode masih akan ada, proses produksinya tetap akan berlangsung per paket. Misalnya tiap 10 atau 15 episode yang dipasang di basis data TV, dan bukan lagi kejar tayang atau malah serial TV siaran langsung seperti pada masa silam di AS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline