Lihat ke Halaman Asli

Wisnu AJ

TERVERIFIKASI

Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Drama di Balik Penandatanganan UU MD3

Diperbarui: 8 April 2018   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: www.kemenkopmk.go.id

Undang Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang disebut dengan istilah UU MD3, telah selesai dilakukan pembahasannya. Dan telah Pula disahkan oleh DPR sebagai Undang Undang (UU).

Akan tetapi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku pihak pemerintah, menolak untuk menandatangani  lembaran pengesahan UU MD3 tersebut. Penolakan Presiden untuk menandatangani lembaran pengesahan UU MD3, dikarenakan banyaknya protes yang dilakukan oleh berbagai intitusi public.

Bahkan Presiden  mendorong masyarakat untuk melakukan uji materi terhadap UU MD3 melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Penolakan Presiden untuk menandatangani lembaran pengesahan UU MD3, seakan mencerminkan bahwa Presiden benar benar berpihak kepada masyarakat, dan seolah olah Presiden dalam hal ini pemerintah tidak bersetuju dan tidak tahu menahu terkait dengan UU MD3 tersebut.

Advertisment Presiden Jokowi, sebelumnya beralasan tidak mendapatkan penjelasan dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly , mengenai sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3. Akibatnya, Presiden baru mengetahui keberadaan pasal tersebut, setelah UU MD3 disahkan dan mendapat penolakan publik.

Sebenarnya bagi masyarakat, penolakan Penandatanganan lembaran pengesehan, UU MD3 yang dilakukan oleh Presiden, tidak lebih sebagai drama belaka. Karena masyarakat mengetahui, sejak awal proses penyusunan UU MD3 tersebut melibatkan pemerintah secara intensif. Dan lagi pula tanpa ditandatangani oleh Presiden, UU MD3 yang telah disahkan oleh DPR tetap akan berjalan.

Mustahil rasanya,  jika Yosanna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkum Ham), selaku perwakilan dari pemerintah,  dalam mengikuti pembahasan UU MD3 bersama DPR, tidak melaporkan kepada Presiden selaku atasannya, tentang adanya pasal pasal controversial didalam UU MD3 yang sedang dibahas.

Karena bagaimanapun,  jauh sebelum UU MD3 dibawas telah muncul wacana, tentang adanya pasal pasal controversial, yang sipatnya memberikan imunitas dan kekuasaan terhadap MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Munculnya pasal pasal controversial itu, telah mulai terlihat didalam kasus Setya Novanto (Setnov), Ketua DPR RI yang terlibat kasus dugaan korupsi dana proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik(e-KTP).

Waktu itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melayangkan surat pemanggilan terhadap Setnov untuk diperiksa dalam kasus tersebut.  Namun dengan berbagai alasan Setnov menapik surat pemanggilan yang dilayangkan oleh KPK.

Alasan yang disampaikan oleh Setnov terhadap pemanggilan dirinya, harus terlebih dahulu adanya izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dan terakhir pemanggilan Setnov selaku Ketua DPR RI harus melalui izin tertulis dari Presiden.

Dan benar saja, alasan alasan yang diketengahkan oleh Setnov itu,  masuk dan terurai didalam UU MD3. Ditambah lagi dengan pasal pasal yang membuat DPR menjadi kebal terhadap kritikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline