Lihat ke Halaman Asli

Widi Kurniawan

TERVERIFIKASI

Pegawai

Ketupat dan Sungkeman, Tradisi Pengakuan Kesalahan

Diperbarui: 14 Juni 2018   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengisi ketupat yang menjadi tradisi di keluarga kami (foto: widikurniawan)

Ibarat lari marathon yang mengharu biru di bulan Ramadhan, Idul Fitri atau lebaran adalah garis finish. Lazimnya garis finish, tentu ada ekspresi kegembiraan (dan ini mayoritas) serta ada pula ekspresi ngos-ngosan.

Idul Fitri adalah hari kemenangan. Meskipun yang menyentuh garis finish belum tentu menang, setidaknya merasa dirinya menang adalah hak pribadi masing-masing. Ya, daripada merasa kalah, gitu deh.

Lalu setelah merasa menang ngapain?

Indahnya lebaran, di momen ini kata "maaf" bertebaran di udara. Saling mengucap "mohon maaf lahir batin" kepada sesama. Baik itu dengan gaya syahdu, penuh isak tangis, maupun "maaf" yang terucap dalam senyuman. Sah-sah saja, yang penting ikhlas saling memaafkan.

Tentang maaf, di banyak daerah di Indonesia, terutama dalam kultur masyarakat Jawa dan Sunda, ada simbolitas maaf dalam sebuah ketupat. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa, bisa berarti "ngaku lepat" atau mengakui kesalahan. Dalam sejarahnya, ketupat diperkenalkan oleh para Wali terutama Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam.

Tradisi ketupat yang turun menurun hingga kini, membuat hari lebaran selalu identik dengan hadirnya ketupat beserta opor ayam di meja makan. Ketupat  merupakan jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa atau janur yang dibuat berbentuk kantong. Butuh waktu lama untuk memasak ketupat ini.

Memotong ketupat (foto: widikurniawan)

Meskipun repot dan lama, memasak ketupat beserta lauk pauk pendampingnya adalah tradisi yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Demikian pula di rumah orang tua saya. Ibu saya selalu membuat ketupat sejak dua hari sebelum lebaran. Meskipun anyaman ketupat kini sudah banyak dijual di pasar, tetapi mengisinya dengan beras dan memasaknya tetap membutuhkan waktu yang intens.

Butuh takaran yang pas menggunakan feeling yang tepat, jika tidak mau hasilnya malah ketupat yang kopong. Atau malah hasil ketupat yang tak sempurna karena kebanyakan air saat dimasak. Ini ibarat pengakuan maaf yang tak sepenuh hati atau tak sempurna. Karena konon pemaknaan filosofis setelah ketupat dibuka dan terlihat sempurna adalah terlihatnya nasi putih yang mencerminkan kebersihan dan kesucian hati.

---

Dalam tradisi keluarga kami, ada satu tradisi lagi yang merupakan perwujudan dari saling memaafkan, yakni sungkeman. Usai shalat Ied di masjid, kami anak-anak dan cucu-cucu akan mempersilakan kedua orang tua kami untuk duduk dan kami akan melakukan sungkem sebagai tanda permintaan maaf dari yang muda.

Sungkeman dari anak hingga cucu kepada orang tua (foto: widikurniawan)

Inilah puncak dari rasa haru, momen sungkeman bisa jadi akan membuat mata kita berkaca-kaca dan bibir bergetar saat mengucap maaf. Kemudian orang tua akan membisikkan penerimaan maaf, permintaan maaf serta doa-doa terbaik yang mereka harapkan untuk kebaikan anak-anak dan cucu-cucunya.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline