Lihat ke Halaman Asli

Wenro Haloho. S.H.

#PemerhatiBangsa

Mengenai Upaya Hukum Kepailitan dan PKPU Pasca Putusan MK No. 23/PUU-XIX/2021

Diperbarui: 16 Desember 2021   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Pemohon sebagai Direktur Utama PT Sarana Yeoman Sembada merasa hak Konstitusionalnya dirugikan begitu juga dengan Debito-debitor lain yang pembuktian perkara utangnya tidak sederhana, Pemohon merasa norma hukum tersebut malah dipakai sebagai modus dalam dunia bisnis yang bisa membahayakan perekonomian nasional. 

Modusnya diambil “jalan pintas” melalui permohonan PKPU sebagaimana dialami Pemohon. PT Sarana digugat PKPU tiga kali dan ditolak semuanya. Tapi dalam gugatan PKPU keempat dikabulkan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan pada 15 Desember 2020 lalu. Pemohon merasa hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Adapun yang menjadi objek pengujian dalam permasalahan ini adalah ketentuan Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) yang berbunyi :

Pasal 235 ayat (1)

Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.

Pasal 293 ayat (1)        

Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 295 ayat (1)

Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline