Lihat ke Halaman Asli

Max Webe

yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

Pustakawan dan Buku

Diperbarui: 2 September 2016   03:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: @zenrs Tweet pict

Enam bulan, saya absen menulis untuk menghindari kegaduhan dan terkejut mendapatkan informasi bahwa hari Sabtu malam, TNI melakukan sweeping klub bermotor sekaligus meminta komunitas perpustakaan jalanan Kota Bandung di Cikapayang Dago membubarkan diri. Saya pun berselancar menuju dunia maya, facebook dan twitter

Rilis Perpustakaan Jalanan

Apa artinya? Bagi saya, peristiwa Sabtu malam kelabu itu, adalah  sebuah pengalaman pahit dan menjadi kenangan dalam hidup pustakawan dan buku.

akun twitter ridwan kamil

Goenawan Mohammad dalam bukunya Teks dan Iman, menyatakan, "Tapi saya tidak tahu pasti bagaimana keadaannya dewasa ini terutama di Indonesia, di daerah masyarakat yang dengan cepat, bahkan langsung, bergerak dari suatu keadaan praliterer ke dalam keadaan pascaliterer, dari suatu lingkungan yang tak pernah membaca ke dalam suatu lingkungan yang tak pernah membaca, di mana media televisi mengisi hamper, setidaknya dalam dugaan saya, 50 persen dari waktu senggang malam hari orang Indonesia yang berpendidikan sekolah menengah."

Apa makna bagi saya? Susah sekali mendefinisikan "buku dan saya" dalam cerita yang singkat, padat, jelas dan enak dibaca. Yang pasti begini, biasanya yang seringkali saya alami, komunitas perpustakaan jalanan, terdiri dari sarjana-sarjana sepuh, penulis-penulis muda, atau tukang kulak buku dari berbagai kota saling bertemu disitu. Kolektor tampak pula meski jarang. 

Kasak-kasuk berlomba-lomba perburuan buku menjadi permainan monopoli. Buku-buku disimpan terlebih dahulu, dan dikeluarkan saat kolektor dengan penawaran tertinggi datang. Kolektor membeli dengan bau buku. Buku yang dicari harus segera dibeli, ketika harga ditetapkan, tanpa boleh ditawar. Oleh sebab, bukan kolektor, debat sengit sering terjadi antara calon pembeli dan pedagang. 

Harga tinggi ditawar serendah-rendahnya. Mereka merasa direndahkan. Calon pembeli tetap cuek. Berbagai argumentasi dihembuskan, dari cacian hanya buku loak, beli kiloan sampai mengutuk buku. Dengan lirih, para pedagang terbiasa luluh. "Yo, wis nyoh," sembari memberikan buku yang ingin dibeli.

Yup. Meminjam buku terbatas oleh waktu. Hasrat untuk memiliki buku lahir. Fotokopi masih belum mampu. Putar otak bagaimana agar dapat memiliki buku, yang sewaktu-waktu selalu disamping pustakawan. Ruang pelariannya adalah perpustakaan. Memperbincangkan dunia buku dan segala yang melingkupinya merupakan pikat yang selalu menyentil debar dan menggelorakan. Bagai sebuah riak-riak rasa yang berkemampuan untuk menjadi gelombang yang menebarkan pikat-pikat tatap ataupun sebaliknya, meluluhlantakkan  butiran-butiran harapan yang telah dengan tanpa lelah teruntai. 

Sebuah puisi dari Taufik Ismail, Kupu-Kupu di dalam Buku agaknya mampu menggambarkan titian gelombang rasa saat berbincang tentang buku. 

Ketika duduk di stasiun bus, di gerbong kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku dan cahaya lampunya terang benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.

Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran, dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline