Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

Menimbang Gerakan Sapu Bersih Intoleransi

Diperbarui: 21 Juli 2018   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sosial dan intoleransi (dok. pri).

Beberapa bulan yang lalu dalam sebuah obrolan sore bersama tiga orang rekan di kedai kopi tak jauh dari Jalan Kaliurang Yogyakarta, saya melontarkan kegelisahan tentang kehidupan beragama akhir-akhir ini. Menurut saya kehidupan beragama sekarang mulai diliputi ketidaknyamanan. Wacana publik yang memenuhi ruang dan pemikiran masyarakat juga kurang bermutu dan cenderung negatif. Isi dan diksinya tidak jauh-jauh dari agama, umat, ulama, kafir, dan munafik.

Kecenderungan tersebut bertalian dengan tsunami di media sosial. Ujaran kebencian, berita bohong, fitnah, dan propaganda berserakan di linimasa. Saya pun menjadi sering melaporkan konten-konten negatif yang melintas di media sosial, sekalipun itu disebarkan oleh orang yang saya kenal.

Menguat Karena Media Sosial

Kehidupan beragama dan toleransi kita sekarang ada di persimpangan jalan. Orang semakin mudah menghina dan menyerang sesama di media sosial. Semakin banyak akun, baik yang anonim maupun akun milik pesohor yang gemar memproduksi dan menyebarluaskan konten-konten negatif. Keadaan diperkeruh oleh sejumlah kelompok, tokoh, dan politisi yang dengan enteng membawa agama untuk memobilisasi massa dan melegitimasi tindakan yang sesungguhnya bertolak belakang dengan nilai-nilai ajaran agama.

Dengan media sosial kaum intoleran tidak hanya menyebarkan konten negatif, tapi juga berhasil meraih banyak penggemar dan pengikut yang perlahan turut menjadi penghamba ujaran kebencian, berita bohong dan sebagainya. Media sosial menjadi semacam perguruan untuk menciptakan makhluk-makhluk intoleran baru. Pola seperti ini terus berulang dan berkembang biak sehingga berdampak pada menguatnya intoleransi.

Melihat kenyataan ini semestinya pemerintah dan pemangku kepentingan terutama Kementerian Agama berpikir mendalam atas apa yang sedang terjadi pada kerukunan atau toleransi kita saat ini. Intoleransi adalah bibit unggul radikalisme dan radikalisme adalah penyokong utama terorisme.

Gerakan Sapu Bersih

Berandai-andai menjadi Menteri Agama, sebuah terobosan perlu dihadirkan untuk mengatasi berkembangnya intoleransi yang  diperkuat oleh konten negatif di media sosial. Gerakan bersama untuk menyapu bersih intoleransi sebaiknya dipertimbangkan. Strateginya kurang lebih sebagai berikut.

Pertama, dimulai dengan mendorong masyarakat agar lebih memiliki kemauan untuk menghalau intoleransi di media sosial. Sebenarnya caranya tidak terlalu sulit karena media sosial seperti twitter dan instagram telah menyediakan fitur pelaporan konten-konten negatif. Fitur ini bisa dimanfaatkan dengan mudah.

Pengalaman menunjukkan bahwa melaporkan konten negatif di media sosial secara mandiri mampu membuahkan hasil. Asalkan bukti dan alasan yang disodorkan akurat, twitter dan instagram akan menindaklanjuti dengan mengirimkan peringatan kepada akun terlapor dan menghapus konten-konten negatif yang diunggah. Pelaporan konten negatif juga bisa dilakukan melalui saluran lain, seperti aduankonten.id yang disediakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Mengingat masyarakat saat ini belum cukup memiliki inisiatif untuk melaporkan konten-konten negatif, maka peran Menteri Agama atau Kementerian Agama menjadi sangat dibutuhkan dalam mengedukasi masyarakat agar mau memaksimalkan fitur-fitur dan layanan pelaporan sehingga bisa lebih berdaya menghalau konten negatif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline