Lihat ke Halaman Asli

Usman Bima

profesi sebagai dosen tetap pada STIS Al-Ittihad Bima

Politik Gagasan Versus Politik Kekuasaan

Diperbarui: 25 Februari 2024   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber (Media Universitas Al-Azhar Indonesia)

Politik Gagasan Versus Politik Kekuasaan

Kehadiran generasi milenial dan Gen Z yang cenderung rasional sebagai pemilih terbesar merupakan tantangan bagi parpol. Parpol peserta pemilu harus beralih ke politik gagasaan ketimbang mempertahankan politik kekuasaan.

Hingga memasuki pemilu keenam pascareformasi, kontestasi elektoral belum beranjak dari politik kekuasaan dalam terminologi Machiavelli dan Thomas Hobbes.

Menurut Machiavelli, kekuasaan memiliki otonomi yang terpisah dari moral sehingga merebut dan mempertahankan kekuasaan bisa dilakukan dengan segala cara. Hobbes menganggap manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (hohmo-homoni lupus). Karena itu, negara harus menjadi Leviathan, makhluk pemangsa yang ditakuti agar manusia tidak saling memangsa satu sama lain.

Politik kekuasaan yang diperagakan partai-partai peserta pemilu mungkin tidak seganas yang digambarkan Machiavelli dan Hobbes. Namun, indikasinya cukup kuat untuk menegaskan bahwa orientasi politik kekuasaan jauh lebih dominan ketimbang politik gagasan.

Meminjam terminologi demokrasi, jika politik kekuasaan berbicara soal bagaimana kekuasaan direbut dan dikelola, politik gagasan berbicara soal bagaimana kekuasaan diawasi dan untuk kepentingan siapa kekuasaan dikelola.

Orientasi politik kekuasaan sudah sangat terasa mulai dari Pilkades, Pilkada, Pemilihan Legislatif, hingga pemilihan DPD dan Pilpres. Dalam rangka memenangkan agenda demokrasi tersebut para pelakunya berupaya semaksimal mungkin untuk mengumpulkan segenap kekuatan.

Partai-partai besar sibuk membangun koalisi untuk memenangi pertarungan. Lembaga-lembaga survei juga ikut berkontribusi dengan suguhan elektabilitas dari setiap kandidat, baik calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres).

Yang absen dari seluruh hiruk pikuk di atas adalah politik gagasan. Hingga sosok-sosok para calon makin jelas, kompetisi untuk menduduki jabatan tersebut masih berkutat di seputar "bagaimana memenangi pertarungan"; hampir tidak ada gagasan-gagasan besar mengenai kemajuan lima tahun ke depan, baik dari partai politik maupun dari para kandidat.

Yang ada adalah koalisi: Koalisi Perubahan, Koalisi Indonesia Bersatu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya dan berpikir bagaimana memengkan kompetisi. Koalisi-koalisi ini diprediksi tak akan abadi, tergantung arah angin kepentingan.

Penyampaian gagasan mengenai "bagaimana kekuasaan dikelola dan untuk kepentingan siapa" biasanya hanya ada dalam debat kandidat dan sebatas visi dan misi belaka. Di luar debat kandidat, kampanye hampir tidak menyentuh gagasan. Materi kampanye lebih banyak pencitraan ketimbang gagasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline