Lihat ke Halaman Asli

Tuhombowo Wau

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Tak Masalah Tolak Ucapkan Selamat, tapi Jangan Halangi Mereka Ibadat

Diperbarui: 24 Desember 2019   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ibadat di Gereja | Gambar: cruxnow.com

Mendengar pemberitaan tentang adanya larangan kelompok umat beragama tertentu agar tidak memberi ucapan selamat atas perayaan Natal kepada kaum beriman Kristiani yang merayakannya, saya menilai tidak masalah. Sebagai salah seorang umat yang ikut merayakan Natal tahun ini, saya tidak ingin mempersoalkan mengapa harus ada larangan itu. Saya berharap sikap yang sama dapat diambil pula oleh sesama umat Kristiani.

Saya tidak keberatan sebab kegembiraan merayakan momen kelahiran Yesus Kristus tidak terletak pada seberapa banyak orang mengucapkan selamat, tetapi sejauh mana saya memaknai dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari. Saya gembira jika akhirnya perayaan Natal membawa hikmah dan manfaat, bukan cuma untuk saya, tetapi juga bagi orang lain di sekeliling saya.

Alasan berikutnya, saya tidak mungkin memaksakan orang lain mengucapkan selamat, karena itu bukan hak saya yang wajib mereka penuhi, melainkan sebatas harapan saya supaya diakui. Dan barangkali benar bahwa memang ucapan tersebut bertentangan dengan akidah, meski pandangan tentang ini berbeda-beda. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang tegas melarang.

Membiarkan saya menjalankan ibadat dalam kondisi aman dan nyaman, yang tidak hanya pada perayaan Natal tetapi juga tiap saat, itu sudah cukup. Menjamin kebebasan seseorang atau sekelompok umat beragama menjalankan ibadatnya merupakan kewajiban setiap orang di negeri ini. Negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk memastikan kewajiban tersebut terlaksana dengan sebaik-baiknya.

Artinya, ketika memberikan ucapan selamat merupakan pilihan atau bukan keharusan, maka kesediaan menjamin orang lain menjalankan ibadat adalah kewajiban. Kebebasan menganut agama dan menjalankan ibadat adalah hak asasi manusia (HAM) yang wajib dihormati atau tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, sebab dijamin konstitusi. Sila baca bunyi pasal 28 E UUD 1945. Di sana terurai jelas dan rinci.

Oleh karena itu, supaya pasal 28 E UUD 1945 tadi berlangsung tegak, maka konstitusi pun memberikan tugas kepada negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menjamin tidak terjadinya pelanggaran. Tugas itu tertuang dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Pertanyaan, mengapa sampai sekarang masih ada kelompok tertentu yang sewenang-wenang membatasi hak seseorang atau kelompok beragama lain dalam menjalankan ibadatnya? Bukankah sebuah pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi? Bagaimana mungkin sebagian umat Kristiani di Kabupaten Dharmasraya yang sudah tidak mendapat ucapan selamat, dilarang lagi merayakan Natal?

Apakah maksudnya bahwa pasal 28 E dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 di atas tidak berlaku di Kabupaten Dharmasraya? Bagaimana mungkin larangan perayaan Natal didasarkan pada alasan bahwa pernah ada kesepakatan yang diikat bersama warga beberapa tahun yang lalu? Bukankah kesepakatan itu bisa terjadi di tengah kondisi terpaksa? Adakah kesepakatan boleh dibuat walaupun bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan?

Menganjurkan sebagian umat Kristiani tadi merayakan Natal di lokasi lain yaitu di Sawahlunto yang jaraknya ratusan kilometer bukan solusi bijak dari Pemerintah Kabupaten Dharmasraya. Sampai kapan mereka menanggung nasib semalang itu? Mengapa pula solusi berikutnya yang ditawarkan yakni meminta mereka merayakan Natal di rumah masing-masing? Bukankah artinya tetap saja melarang ibadat?

Mestinya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Dharmasraya (bersama tokoh-tokoh masyarakat, agama, adat) adalah mengevaluasi kesepakatan, memfasilitasi umat Kristiani menjalankan ibadat, serta berupaya membuka pikiran dan hati warga lain supaya mau menerima kehadiran sesama mereka meski berbeda agama dan kepercayaan.

Harapan saya ini bukan cuma tertuju kepada pemerintah dan kelompok umat beragama tertentu di Kabupaten Dharmasraya, tetapi juga kepada semua pihak yang mengaku punya perasaan dan masih menjunjung tinggi konstitusi sebagai rambu-rambu bersama dalam hidup bernegara. Marilah saling menerima, menghargai, dan mencintai satu dengan yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline