Lihat ke Halaman Asli

Peminta-Minta

Diperbarui: 3 Mei 2024   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Tri Handoyo

Dulu ada seorang peminta-minta yang biasa mangkal di perempatan lampu merah. Perempuan malang lantaran kedua kakinya cacat. Setiap pagi dia di antar ke lokasi oleh seorang tukang becak, dan dijemput di sore hari oleh orang yang sama. Menurut informasi, tukang becak itu adalah pacarnya.

Yang buat saya penasaran, kenapa ada pria yang tubuhnya normal dan sehat mau menjadi pacar perempuan bernasib malang? Dugaan saya, masih dugaan yang belum tentu benar, karena perempuan itu memiliki penghasilan lumayan besar. Tentu saja penghasilan dari mengemis belas kasihan orang. Peminta-minta. 

Dari cerita seorang satpam kompleks yang bertetangga dengan perempuan itu, bilang penghasilan si peminta-minta itu paling sepi lima puluh ribu per hari. Istilah paling sepi itu menarik. Saat itu, lima puluh ribu rupiah itu setara dengan upah sehari seorang kuli bangunan. Bayangkan, jika satu hari saja minimal dia mampu mengumpulkan 50.000 rupiah, maka selama sebulan dia bisa memperoleh uang 1.500.000 Rupiah. Lebih besar dibanding upah penjaga toko atau pekerja pabrik. Itu artinya mengemis adalah sebuah pekerjaan yang cukup menggiurkan. Tidak perlu skill, modal uang, dan tidak perlu menguras tenaga pula, cukup hanya modal wajah dan penampilan yang memelas. 

Barangkali karena itu, akhirnya tidak sedikit orang tergoda untuk beralih profesi menjadi peminta-minta. Sebetulnya cacat bukanlah alasan, karena banyak juga orang cacat yang mampu produktif dan memberikan kontribusi bagi kehidupan. Sebaliknya ada orang yang memiliki tubuh normal, sehat dan kuat, seperti tukang becak tadi, tapi memilih jadi parasit bagi pacarnya yang peminta-minta. Karena sebetulnya faktor penyebabnya adalah mental. 

Memberi memang merupakan perbuatan mulia, akan tetapi bisa juga menjadikan orang yang diberi terdidik menjadi malas dan akhirnya hanya menggantungkan pada pemberian. Orang bijak memberi nasehat lebih baik memberi kail, bukan ikan. Karena kail itu melatih orang untuk berjuang. 

Puluhan tahun yang lalu saya pernah nonton acara Oprah Winfrey Show, yang menampilkan seorang anak yang sudah lama memutuskan hubungan dengan orang tuanya. Konflik itu dipicu gara-gara permintaan si anak tidak dikabulkan. Mungkin mereka keluarga selebritis, sehingga konflik sepele anak dan ibu itu sempat menyita perhatian publik. 

Oprah mempertemukan anak dan ibu itu di program talk shownya, pertemuan pertama bagi keduanya setelah belasan tahun tidak bertemu dan tidak berkomunikasi. Dari wawancara itu, si ibu mengaku selama ini selalu menuruti segala permintaan putrinya, sampai anaknya itu menikah dan hidup bersama suaminya. Terakhir ibu yang sudah menjanda itu tidak lagi mampu mengabulkan permintaan putrinya, dan si anak mengambil kesimpulan bahwa ibunya sudah tidak mencintainya lagi. Maka si anak memutuskan hubungan keluarga dan bahkan tidak mau bicara dan bertemu lagi dengan ibunya. 

Saya dan sebagian besar penonton, pasti berpikir anak itu sangat keterlaluan. Tapi waktu itu saya terkejut karena Oprah ternyata justru menyalahkan si ibu. Sikap ibu yang selalu menuruti permintaan anaknya itu dipandang sebagai penyebab rusaknya kepribadian anak. Si anak menjadi manja, tidak punya daya juang dan tidak bisa mandiri. Sebaliknya malah terkondisi memiliki mental peminta-minta. Anak yang durhaka itu jelas salah, tapi tanpa disadari, sebetulnya itu merupakan hasil karya dari orang tuanya. Hasil salah asuhan. 

Menurut Oprah, dan saya akhirnya setuju dengan pendapatnya, bahwa kesalahan ibu itu yakni karena tidak mengajarkan kepada putrinya untuk tidak bergantung. Si ibu tidak memberi kail, dan tidak memberi cukup waktu kepada anaknya, yang sejak kecil hingga dewasa diajari 'meminta-minta' itu, untuk belajar mandiri. Proses belajar untuk berubah itu tidak mudah dan butuh waktu yang sama panjangnya seperti pendidikan salah yang selama ini dialaminya. 

Hal seperti itu tidak hanya bisa menimpa pada keluarga, tetapi juga bisa menimpah sebuah masyarakat, dan bahkan sebuah negara. Ambil contoh negara Venezuela. Para pengamat menyimpulkan bahwa salah satu penyebab ambruknya Venezuela adalah karena subsidi yang selama ini memanjakan rakyatnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline