Lihat ke Halaman Asli

Trian Ferianto

TERVERIFIKASI

Blogger

Romantisme 260 Tahun Masjid Jamik Pasuruan

Diperbarui: 30 April 2021   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nuansa malam hari Masjid Jamik Al Anwar Pasuruan | Dok. Yahya Zain

Malam jumat itu, banyak tamu berkunjung ke masjid yang pas berhadapan dengan alun-alun Kota Pasuruan. Masjid ini biasa disebut Masjid Jamik oleh seluruh penduduk Pasuruan. Saya sendiri, baru tahu setelah agak besar bahwa namanya adalah Masjid Al Anwar. Menandakan bahwa nama resminya jarang sekali disebut.

"Masjid itu ada yang jami' dan tidak jami'. Masjid Agung Al Anwar ini jaman dulu disebut Masjid Jami' karena bisa dibuat Salat Jumat. Keterusan sampai sekarang," terang Ketua Takmir Masjid Al Anwar, Abdullah Sodiq sebagaimana dikutip dari IDN Times.

Setiap malam jumat, peziarah memang membanjiri tempat ini. Mereka sengaja memasukkan agenda ziarahnya ke Kota Pasuruan karena ingin berkunjung ke makam KH Abdul Hamid yang lokasinya tepat di barat Masjid Jamik.

Pengunjung biasa datang dari berbagai kota dengan menggunakan bis-bis besar; atau rombongan kecil dengan menggunakan minivan atau bus mini. Hampir bisa dipastikan mereka adalah warga Nahdliyyin (sebutan untuk orang islam yang terafiliasi ke organisasi NU, baik secara kultural, ritual, maupun resmi berKartaNU).

Masjid Jamik Al Anwar Pasuruan memang menjadi 'sentral' spiritual warga NU Kota Pasuruan. Dibangun oleh KH Hasan Sanusi atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Slagah pada tahun 1759 atau 260 tahun lebih. Namun kini lebih 'lekat' dengan Mbah Hamid karena beliau lah ulama muktabar paling akhir yang 'menyemarakkan' kegiatan aktivitas keagamaan di Masjid Jamik dengan membangun Pondok Pesantren tepat di belakang masjid. Kini pondok ini dilanjutkan oleh putra beliau bernama Gus Idris.

Jika Anda warga Kota Pasuruan, apalagi yang secara kultural lebih lekat dengan NU, maka tak akan tidak menganggap bahwa masjid inilah pusat spiritual warga kota. Termasuk saya.

Bahkan, saat saya masih kecil dulu di medio tahun 90-an, segenap warga rela secara rutin setiap malam rabu berkunjung dari luar kota menggunakan bak terbuka atau pickup hanya untuk mengikuti pengajian malam reboan yang konon rutin dihelat sejak zaman Mbah Hamid hingga kini.

Dulu kondisi alun-alun di depannya masih kumuh dan tak beraturan. Di sanalah mereka biasanya menggelar tikar mendengarkan kajian yang dibawakan selepas salat isya hingga tengah malam. Tanpa perlu stanby masuk duduk di dalam masjid. Mereka ini bisa mendengarkan kajian sambil nyemil kacang rebus atau kudapan lainnya.

Kini kondisi alun-alun semakin modern dan rapi. Para penjual yang sejak dulu menggelar lapak di tengah lapangan, sudah dilokalisir di suatu tempat demi menjaga keindahan dan ketertiban alun-alun.

Saya sendiri sering diajak Bapak untuk ikut pengajian malam reboan ini. Dibonceng naik sepeda motor AX100 tua dari rumah yang jaraknya kurang lebih lima kilometer ke arah timur masjid. Dulu masih kecil, diajak kajian malem rebo karena pasti dibelikan kue dan tak terlalu menyimak isi kajian yang dipancarkan dari toa masjid ke seluruh arah penjuru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline