Lihat ke Halaman Asli

Tonang Dwi Ardyanto

TERVERIFIKASI

Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Bukan Jabatan Eselon: Rektor, Dekan, dan Direktur RS PTN

Diperbarui: 21 Oktober 2019   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sejak Keppres 9/1985, Rektor PTN termasuk Pejabat Eselon 1a. Satu kelompok dengan Sekjen, Dirjen, Irjen dan Kepala Badan di Kementerian. Dekan, Pembantu Rektor dan Ketua Lembaga di PTN setara dengan Staf Ahli Menteri di Eselon 1b.

Pembantu Dekan, Sekretaris Lembaga dan Kepala Pusat pada PTN, masuk Eselon 2a setara dengan Kepala Biro, Inspektur dan Direktur di Kementerian.

Keppres 199/1998 menyatakan bahwa Dosen sebagai Tenaga Fungsional memiliki Tugas Utama adalah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selain tugas utama tersebut, dosen DAPAT diberi TUGAS TAMBAHAN sebagai Rektor dan jabatan-jabatan lain tersebut. Pemberian tugas tambahan ini tidak termasuk Jabatan Struktural. Maka sejak itu, tidak ada lagi eselon di PTN.

Sebagai implikasinya, Direktur RS PTN pun adalah Tugas Tambahan terhadap seorang Dosen di luar tugas utamanya melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Ada sisi positif dari aturan ini. Dalam hal eselonisasi, ada aturan tentang golongan dan kepangkatan minimal untuk dapat menduduki suatu eselon. Memang filosofinya, eselon adalah suatu jenjang karir yang menuntut pendidikan dan pengalaman. Namun sisi lain, ini juga menghambat bagi yang berkapasitas tinggi, namun harus mengikuti alur penjenjangan golongan dan kepangkatan.

Dengan menjadikan tugas tambahan, maka seorang yang memang berkapasitas, profesional, dapat diberi tugas tanpa harus kaku terikat aturan soal eselonisasi.

Dalam praktek di PTN, untuk mencari formulasi terbaik, berusaha dicari jalan tengah. Penjenjangan untuk dapat diberi tugas tambahan, dikaitkan dengan pencapaian JABATAN Fungsional, bukan semata golongan pangkatnya. Jabatan fungsional ini dari Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala dan Guru Besar.

Dengan demikian, Dosen dapat diberi Tugas Tambahan, asal secara fungsional sudah terbukti berprestasi lebih dulu mencapai suatu jabatan fungsonal tanpa harus menunggu dulu pencapaian suatu golongan kepangkatan. Juga tidak harus menunggu dulu menduduki suatu jabatan struktural, untuk dapat mencapai Jabatan Fungsional yang lebih tinggi.

Belum lama ada satu regulasi yang mengatur bahwa Direktur RS milik Pemda, adalah Dokter Fungsional dengan Tugas Tambahan sebagai Direktur RS. Padahal banyak pihak menyatakan bahwa tanggung jawab, kewenangan sekaligus risiko kerja Direktur RS terlalu besar untuk suatu tugas tambahan.

Ada informasi bahwa regulasi terkait RS Daerah tersebut, sudah dikoreksi dengan mengembalikan ke regulasi sebelumnya. Direktur RS Daerah tetap menjadi jabatan struktural bereselon, dengan kewenangan otonom atas RS yang dipimpinnya. Namun dalam pelaksanaan kerjanya, harus berkoordinasi dan melaporkan ke Kepala Dinas Kesehatan setempat.

Kata kunci "koordinasi" ini menarik. Sebenarnya, itu yang penting, lebih dari sekedar soal "struktur organisasi". Tapi yang penting itu pula yang selama ini sulit kita capai. Setelah koordinasi, diharapkan muncul kolaborasi. Karena jelas tidan mungkin berjalan dan bekerja hanya mengandalkan kemampuan diri dan unit masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline