Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014

Berbagi Kisah Pribadi Menabung untuk Hari Tua

Diperbarui: 20 Mei 2016   03:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

Tempo doeloe, mana ada istilah keren seperti Role Model  investasi jangka panjang, investasi jangka pendek atau deposito berjangka segala. Sebagai orang yang sama sekali tidak berlatar belakang pendidikan dibidang ekonomi. sungguh saya tidak mengenal istilah-istilah keren di atas.

Mau yang namanya investasi, maupun deposito berjangka, bagi saya sama saja. Pokoknya menabung. Ketika hidup sedang melarat,jangankan menabung, malah apapun yang bisa dijadikan uang, kami jual. Termasuk jas yang dipakai waktu pernikahan juga saya lego. Cincin kawinpun dilego. Pasti bukan buat judi atau beli bir atau alkohol, tapi hanya agar mampu bertahan hidup.

Setelah masa penderitaan selama tujuh tahun berlalu dan kami tiga anak beranak masih hidup, mulai ada titik terang dalam hidup kami. Yang kalau diceritakan akan sangat membosankan karena sudah permah ditulis sebelumnya.

Pokoknya habis gelap, terbitlah terang, Habis masa sial,maka datanglah masa masa keberuntungan. Dalam waktu 4 tahun, hidup kami berubah total. Bukan dari hasil nyolong atau korupsi, tapi kerja keras siang dan malam. Pengertian siang dan malam ini,bukanlah sekedar kiasan, agar terkesan hebat dan seru. Tapi memang benar benar kami kerja keras,sejak sebelum matahari terbit hingga berganti dengan bulan.

Mulai Menabung

Menabung untuk masa depan anak dan menabung untuk hari tua kami. Banyak orang berpikir bahwa menabung hanya untuk masa depan anak anak saja, dan lupa bahwa diri sendiri harus tetap bisa hidup tanpa jadi beban bagi anak cucu. Lupa bahwa anak anak bukanlah investasi kita, sehingga kelak, bisa digunakan untuk membiayai hidup kita, Cara berpikir keliru ini sejak awal sudah kami wanti-wanti, Kami tidak ingin membebani hidup anak anak kami kelak.

Maka walaupun kami bekerja di perusahan sendiri, tapi kami mulai menerapkan sistem gaji. Jadi saya sebagai Direktur dapat gaji, Istri saya sebagai komisaris, merangkap Bendahara juga digaji. Dan anak anak masing masing dapat buku tabungan sendiri-sendiri, Dari mana gajinya? Ya dikeluarkan dari uang masuk perusahaan. Sama seperti kami membayar karyawan lainnya.

Uang untuk putaran yang belakangan dikenal dengan istilah cash flow, yakni sejumlah uang yang digunakan untuk melanjutkan usaha bisnis, kami jadikan terpisah dan memiliki pembukuan tersendiri. Tidak dicampur aduk dengan uang pribadi. Walaupun sesungguhnya semua uang perusahaan adalah uang kami bersama.

Tiga persen dari keuntungan perusahaan kami keluarkan setiap bulan untuk biasa hidup dan sisanya kami tabungkan untuk liburan bersama keluarga. Kami sama sekali tidak mengunakan jasa konsultan dalam hal memanage keuangan. Semua dikerjakan oleh istri saya. Yang lebih mantap dalam hal hitung menghitung uang dibandingkan dengan saya.

Pajak

Kami bayar pajak apa adanya. Tidak pakai sulap-sulapan. Sehingga bila ada pemeriksaan petugas pajak. Kami tidak perlu repot repot kasih angpau ini dan itu. Mau minta pembukuan, kami sodorkan semuanya. Jadi aman, tanpa beban. Hal ini saya contoh dari kakak kandung saya yang paling sulung, yang merupakan pembayar pajak terbesar di Sumatera Barat pada waktu itu. Dan mendapatkan piagam penghargaan dari Presiden RI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline