Lihat ke Halaman Asli

Setiamukti

Penikmat hujan dan langit biru

Budaya Antri Cerminan Masyarakat dalam Penegakan HAM

Diperbarui: 14 Juni 2016   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: http://www.rawstory.com/wp-content/uploads/2013/11/Star-Wars-Stormtroopers-pose-for-photographers-in-a-queue-at-Legoland-in-Windsor-west-of-London-on-March-24-2012.-AFP-800x430.jpg

Seringkali saya dihadapkan dengan situasi antri, dan tentu saja semua orang juga mengalami hal yang sama. Antri merupakan suatu kata yang mungkin ujian besar bagi beberapa orang.

Namun, bagi saya antri adalah kegiatan melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu baik dalam rangka mendapatkan hak atau melakukan kewajiban.

Antri merupakan hal yang menyenangkan bagi saya, setidaknya itu memberikan saya sedikit waktu untuk melakukan beberapa hal seperti, memperhatikan sekitar, beristirahat dari hari yang sibuk, ataupun setidaknya saya melakukan kewajiban yang baik untuk membudayakan antri.

Saya sangat menghargai batas privasi seseorang, di negara maju sepertinya batasan ini sangat disadari oleh kebanyakan masyarakat disana, namun di Indonesia saya masih kesulitan mendapatkan batas privasi saya. Seperti halnya ketika saya mengantri dan mengambil jarak agak lebar untuk batas privasi orang di depan saya dan batas privasi saya sendiri, namun ada saja yang menjadikan itu sebagai peluang untuk memotong antrian panjang. Atau paling tidak, saya akan mendapatkan sebuah "dorongan" dari belakang untuk maju mendekati orang didepan saya, sehingga tidak ada jarak.  What's the matter? Berapapun jarak yang kita ambil, jika kita tetap di dalam antrian, itu tidak akan mengubah nomor atau giliran antrian kita bukan?  

Hal yang paling parah lagi jika orang mengantri sambil merokok. Sungguh saya tidak tau apa yang ada dipikirannya? Tidakkah dia berpikir bahwa kemungkinan orang yang mempunyai asma ada di deretan antrian? (Read: saya sendiri)

Dalam hal yang paling kecil saja kita sudah kesusahan untuk menjalankannya, apalagi jika kita dealing with the next big thing! Apakah masyarakat kita sudah memiliki kesadaran akan menghargai dan menjaga HAM (Hak Asasi Manusia) dengan baik? Apakah masyarakat kita selalu terpaku bahwa masalah HAM adalah mengenai hal yang kritis seperti pembunuhan, perbudakan, atau penerimaan LGBT (yang dibesar-besarkan)?

Menegakkan hak sesama manusia mengenai budaya antri saja sudah susah, apalagi untuk menerima perbedaan yang lain seperti berbeda suku,agama, ras dan adat istiadat?

Perlu diketahui bahwa definisi (secara hambar) HAM menurut UU RI No. 39 tentang HAM, bahwa HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan YME. Artinya kita sesama manusia sama sama memiliki hak dan juga kewajiban atas apa yang sudah kita miliki sejak lahir.

Terlebih dalam UU tersebut pada pasal 67 juga menjelaskan bahwa WNI wajib patuh tidak hanya pada hukum tertulis namun juga hukum tidak tertulis. Hal tersebut membuat kondisi ini semakin memprihatinkan. Bisa dibilang antri bukanlah sesuatu hal yang perlu ditulis, karena itu sudah menjadi sebuah keharusan untuk menghargai waktu orang lain.

Pada kenyataannya hukum tak tertulis tersebut hingga dijadikan tertulis sekalipun tidak membuat masyarakat benar-benar menjiwai manfaat budaya antri tersebut.

Apakah budaya antri perlu dicurahkan melalui visual ataupun audio? Atau perlu dijadikan variety show yang satir dan tak mendidik sehingga bisa membuat orang orang yang tidak sadar ataupun tidak peduli menjadi tersadarkan? Ataukah perlu Bapak Presiden kita membuat quote, dan poster besar-besaran dan disebarkan di seluruh tempat antrian se Indonesia mengenai pentingnya antri untuk menghargai hak orang banyak? Wow... bukankah seperti presiden membutuhkan banyak volunteer?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline