Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Kepada: Yang Bersenjata Corona

Diperbarui: 7 April 2020   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Sebuah fakta yang menyebutkan bahwa virus Corona ini merupakan hasil rekayasa/ciptaan manusia bisa jadi pertanyaan-pertanyaan besar. Pertama, karena hal ini sudah terjadi, kalau kita memakai kacamata tidak ada daya dan kekuatan atas ijin Allah, apakah virus Corona yang 'telah' tercipta adalah salah satu iradah-Nya? 

Terlepas dari hak seseorang hidup atau mati itu jelas hak prerogatif Allah yang memiliki kita. Manusia yang suka acting/berpura-pura rumongso kuat, rumongso tegar, rumongso lebih mengetahui, rumongso benar seolah benar-benar sedang diuji kemampuannya sesuai kapasitas masing-masing.

Karena ancaman virus ini tidak bisa kita hilangkan karena sudah menjadi pandemi, apa yang hendak kita lakukan? Saya tertarik dengan statement Dr. Christyadi yang mengatakan bahwa sebagai seorang dokter, tidak ada lagi tempat bagi saya untuk menempatkan rasa takut. 

Beliau sadar akan peringatan tidak takut tersebut bisa menjadi salah satu sifat takabbur, tapi bagaimanapun setiap hari beliau ke rumah sakit dan tidak bisa lepas dari pertemuan-pertemuan tentang Covid-19.

Semisal tidak ada lagi rasa takut, lantas siapa yang hendak kita lawan? Adakah kita akan melawan sesuatu yang lembut dan tidak terlihat oleh mata? Mengapa kita mesti menghilangkan ancaman jika setiap hari kita hidup pun karena dalam posisi selalu terancam. 

Takut tidak bisa makan, takut tidak bisa beli ini itu, takut diejek, takut direndahkan oleh orang lain, takut akan prasangka-prasangka yang belum pasti, takut tidak bisa beli susu, takut anaknya tidak bisa sekolah, dsb. Atas segala rasa ancaman itu akhirnya manusia terdorong untuk bergerak.

Uniknya, manusia justru mencoba melawan sesuatu yang menjadi ancaman. Mengapa kata atau istilah yang dipakai harus "ancaman"? Jauh sebelum situasi pandemi, menurut Dr. Christyadi ancaman besar kita sehari-hari bukanlah virus, melainkan jalan raya. Tapi, mengapa manusia selalu merasa aman-aman saja berkendara meski tidak pakai helm atau tanpa standar keaamanan lainnya?

Kedua, kalau virus ini bukan ancaman, bisakah kita menganggapnya benar-benar sebagai sebuah rahmat? Tanpa gunjang-gunjing sana-sini, tanpa lempar kebenaran ataupun kesalahan ke dalam media-media maya, mencoba menahan diri dengan sabar di dalam anjuran untuk hidup terasing dan prihatin di rumahnya masing-masing.

Begitu utamanya membaca surah Al-Hasyr yang memiliki makna pengasingan. Tapi, manusia lebih memilih untuk menikam, atau disaat kepepet pura-pura menomorsatukan Tuhan, pikirannya telah menuhankan dirinya sendiri. Namun, kelembutan itu seolah berhasil masuk ke dalam dasar-dasar konstruksi pemahaman akan diri sendiri.

Kalau memang pandemi ini merupakan senjata biologis, dimana mereka hanyalah alat. Strategi seperti apa yang mereka rencanakan hingga mampu membuat kalang kabut seluruh dunia. 

Kalau dalam ilmu yang pernah saya dapatkan, seorang petarung lelaki yang melakukan pertarungan dengan tangan kosong, ia dianggap lebih jantan dalam posisi face-to-face. Semakin besar alat/senjata yang digunakan dalam sebuah pertarungan, semakin menunjukkan sikap pengecutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline