Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Essai | Perjalanan

Diperbarui: 28 September 2018   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sering salah mengira jika kenikmatan itu adalah sebuah kemewahan. Tidak mengalami kesulitan ekonomi dan hidup serba berkecukupan. Terus berusaha menumpuk harta benda serta membengkakkan pundi tabungan agar masa depan terjamin. Sebuah kenikmatan juga terasa ketika datang pujian dari banyak orang.

Jika anda memiliki kesamaan pandangan terhadap argumen tersebut, anda mesti lebih harus berhati-hati. Apalagi jika dogma anda tentang kenikmatan itu adalah hasil dari kerja keras anda selama ini.

 "Lha kok? Apa salah kalau kita menikmati kenikmatan atas hasil kerja keras kita sendiri?"

Ini bukan tentang benar atau salah mengenai arti dari sebuah kenikmatan. Bukanlah sebuah langkah antisipatif untuk keselamatan jiwa yang selalu terkekang oleh hawa nafsu. Ini adalah tentang pengalaman yang "mungkin" akan segera anda temukan ketika anda memulai sebuah perjalanan sunyi. Menyusuri dunia makna.

Karena kenikmatan tidak dapat dimaknai hanya dengan parameter materialistik, namun juga spiritualistik. Kenikmatan bukan mengenai kuantitas, tetapi juga menyangkut masalah kualitas. Terutama tentang bagaimana perspektif kita memahami dunia makna. Cakrawala kenikmatan itu membantang luas  tak terhalang lagi oleh dunia bentuk yang kebanyakan telah menjebak mayoritas manusia.

Salah satu bukti nyata adalah masih banyaknya orang yang sedang diuji dengan sedikit cobaan mengartikan hal itu sebagai sebuah musibah, kesialan, ataupun apes. Bukan berarti menyepelakan tentang permasalahan-permasalahan hidup yang sangat kompleks. Tapi permasalahan itu sendiri datang merupakan suatu perijinan legalitas Tuhan untuk mencoba meninggikan derajat kita sebagai manusia. Memberikan kita kesempatan untuk mengenal af'al-Nya.

Hidup ini adalah perjalanan yang panjang untuk kembali menuju pulang. Menemukan kembali tempat asal kita, melebur, menyatu kepada sumber dari segala sumber cahaya. Kekayaan, kemiskinan, kemudahan, ataupun kesusahan merupakan atribut yang akan kita kenakan selama kita menyusuri perjalanan panjang ini. Yang pasti akan dirasakan oleh setiap insan yang hidup mengembara di dunia ini.

Yang kaya pasti merasa miskin. Yang miskin pun pasti merasakan kaya.  Walaupun miskinnya orang kaya tentu berbeda dengan miskinnya orang fakir. Begitupun sebaliknya, kayanya orang fakir mungkin tidak ada apa-apanya ketika si kaya merasa sedang miskin.

Yang diberi kemudahan pasti pernah mengalami kesusahan, begitupun sebaliknya. Yang sedang sedang sehat pun pasti pernah merasakan sakit. Begitupun sebaliknya. Walaupun banyak orang sehat tidak sadar jika jiwanya sedang sakit. Karena ia selalu takut kepada dunia bentuk, dimana selalu ada dunia makna ketika hal-hal datang atas izin Allah, sekaligus kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. 2:155)

Dunia ini terbentuk akibat dari prasangka orang-orang memandang. Sebegitu prestige-nya prasangka orang, kita sering merasa takut akan prasangka itu. sehingga kita terlalu berhati-hati terhadap image diri kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline