Lihat ke Halaman Asli

Tanah Beta

Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

Halaman Pikiran

Diperbarui: 19 Desember 2020   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambbar: everypixel.com

Sepagi itu di bawah pohon, tidak lagi rindang, daunnya sudah menguning, tampak setengah kekeringan, dia duduk melipat kaki--bukan jarak antara Ambon-Makassar--sembari memilah lembaran-lembaran pada buku di genggaman. Beberapa halaman dia lahap penuh nafsu--serupa sepasang pengantin saling melumat sampai merangsang di atas ranjang dihiasi mawar merah--tapi semua yang dilahap tidak memberinya sesuatu, gairah. Dia terus membuka lembaran lembaran itu sambil menggigit bibir dengan raut wajah kesal, dia tidak menemukan apa-apa.

Lalu kau tahu? Ketika itu hari masih terlalu suci untuk dinodai dengan polusi dan ramai lalulintas, tapi dia masih terus seperti itu--duduk melipat kaki, menggigit bibir, memilah lembaran kertas pada buku digenggamannya.

Ketika dia hendak membuka lembaran berikutnya, Ia mengingat sesuatu; ingatan itu datang seketika, namu dia tak lagi ingin mengenang yang sudah terjadi sebelumnya.

Sedari tadi membuka buku, yang dia dapati hanya halaman-halaman kosong, tidak ada satu huruf, apa pula kalimat dalam lembaran-lembaran yang membuatnya sibuk.

Dia menutup buku, membaringkannya di samping tempat di mana dia duduk, lalu menjulurkan kaki, meraih sebatang ranting kering, mematahkannya kecil-kecil, lalu membuka halaman pikirannya. Dia mulai memilah, "pada halaman mana yang harus aku ingat?" Tanyanya pada ranting kering itu.

Dia mulai membaca kembali halaman pikiran yang dia buka, mulailah dia membaca beberapa kalimat yang terus terngiang, kalimat itu adalah percakapan-percakapan palin intim dalam kepalanya, sudah lama bertamu dan menetap--tidak ingin pergi--untuk terus dia ingat sampai terbaring di sebidang tanah.

"Kau suka warna apa?" Dia membaca ingatannya sendiri

"Biru laut" jawab balasan tulisan seseorang padanya

"Kenapa?"

"Coba lihatlah hamparan lau itu, begitu tenang. Seskali aku sangat menginginkan ketenangan itu di dadamu, kemudian perlahan berenang di atasmu, menyelam pada kehangatan pelukanmu"

Dia terdiam tanpa membalas tulisan itu. Sosok itu begitu lihai memulai percakapan paling intim jika mereka berdua dalam keteduhan bumi yang sunyi dari segala bunyi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline