Lihat ke Halaman Asli

Syifa Ann

TERVERIFIKASI

Write read sleep

Kematian Kedua Selepas Pesta

Diperbarui: 27 Mei 2016   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

- [caption caption="Ombak dan kapal Sumber: Cumicumi.com)"][/caption]

Hantu seorang penyair bergentayangan di sebuah kota yang dipenuhi manusia, pada mulanya ia berkeliaran pada malam-malam dimana gelap lekas datang, perlahan tapi pasti mulai berani keluar dari sarang pada pagi hari dengan menyamarkan diri menjadi sesosok manusia -- seorang pria tua.

Tak jelas di kota itu dia mencari apa, mungkin sebuah pelajaran yang tak ia temukan di alam kematian atawa mungkin membalas dendam akan masa hidup yang tak tenang.

Di kota itu, tempat tinggalnya yang dulu, ia menempati kembali rumah lamanya. Rumah penuh aksara yang ditanaminya dengan harum bunga. Ia cipta kamuflase sebagai pemilik rumah yang baru agar warga kota tak tak tahu kalau dirinya hantu yang arwahnya tak tenang di neraka. Ia berprilaku layaknya manusia seperti semasa hidupnya dulu bertegur sapa dalam interaksi dan sesekali berkunjung ke rumah tetangga.

Lambat laun banyak tetangga mengenalnya sebagai guru. kamuflasenya berhasil. Kini hantu itu digugu dan ditiru dalam laku dan caranya beraksara sebab goresannya memikat menjadi jerat yang mengikat. Banyak yang kagum akan caranya berbicara juga kesahajaan tingkah polahnya. Sejenak dia lupa kalau dirinya hantu, ia tersihir pesona gadis muda, lugu dan haus ilmu. Pemula dalam beraksara. Wah ternyata setan juga kenal cinta!

Ia ajari gadis muda itu caranya menari dengan jari diatas tuts keyboard.

"Pakai ini, kelak hurufmu bisa jadi sayapmu." Kata hantu kepada sang gadis.

Dengan senang hati, si gadis menerima setiap pelajaran yang diberikan tuan hantu, membaja semangat sang gadis mencicipi dunia kata. Lambat laun aksara sang gadis mulai bernyawa - memang hantu itu dulunya seorang penyair yang lumayan mahir. Penyair yang pasca akhir hidupnya dikirim ke neraka karena salah memperlakukan kata. Kata-katanya ia jadikan senjata memperdaya kaum hawa.

Terlalu banyak air mata yang ia tumpahkan, terlalu banyak telinga yang ia tipu atas nama cinta dan hawa terakhir yang menjadi korbannya tak putus merapal laknat untuknya. Langit mendengar doa hawa yang terluka, Tuhan menghitung setiap butir air mata wanita.

Sejak itu, hidup sang penyair tak tenang, kata-katanya semakin kacau sebelum ia mati dalam kegilaan.

Arwahnya tak tenang ia mati tertembak kata dalam duka namun dalam kepalanya ada puing-puing berserakan sisa hidup yang belum ia bereskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline