Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Negara Tanpa "Perasaan"

Diperbarui: 13 Mei 2020   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Katanya kita telah mengirim banyak tenaga kerja ke luar negara. Katanya mereka adalah pahlawan devisa. Katanya lebih banyak yang illegal alias tidak tercatat resmi sebagai tenaga kerja di luar sana. Katanya mereka banyak yang disiksa. 

Katanya mereka banyak yang tidak tahan dan lari jadi gelandangan. Katanya mereka banyak yang terlibat hukum dan dituduh penjahat. Katanya mereka banyak yang divonis hukuman berat sampai hukuman pancung. 

Katanya mereka ada yang harus bayar ganti uang sangat mahal. Katanya negara tidak mau bantu bayar, karena mereka adalah kriminal. Tapi katanya mereka melakukan kriminal karena terpaksa. Katanya siksaan dan tekanan setiap saat menjadikan mereka berbuat jahat. Katanya...

Daftar katanya bisa saja saya tambah sampai penuh satu halaman bahkan lebih. Tapi apalah arti kalau itu hanya katanya. Siapa saja bisa bicara dan membicarakan. Dan hasilnya adalah "katanya".

Di luar hiruk-pikuk berita yang penuh dengan "katanya", mari kita coba berpikir jernih. Kita hidup bersama dengan begitu banyak informasi yang bersliweran setiap saat. Pertanyaan sederhana berikut ini harus kita jawab, informasi macam mana yang bisa dan mesti kita jadikan pegangan untuk bersikap?

Banyaknya informasi yang berbasis pada katanya, menjadikan kita harus pandai-pandai untuk memilih dan memilah. Dalam bahasa Qur'an, Tuhan menyatakan, "Jika datang orang fasiq kepadamu membawa berita, maka konfirmasikanlah (tabayunlah - carilah kebenaran sejatinya - jangan buru-buru percaya)". 

Prinsip ini hendaknya kita pakai dalam hal apapun. Capek? Kita yang harus menentukan, mana informasi yang kita butuh sebenar-benarnya. Kalau ada informasi artis A selingkuh dengan hewan piaraannya, tidak usah repot-repot untuk mengklarifikasi. Selain bikin capek, hal itu juga tidak ada guna.

Kerancuan informasi menjadikan manusia menyusun sistem atau cara agar suatu informasi disepakati bersama sebagai kebenaran. Seperti surat resmi, undang-undang, putusan peradilan, akta otentik, dan lain sebagainya, yang menurut cara membuat dan cara mengeluarkannya ia mengandung informasi yang harus dianggap benar. 

Selain itu, masih perlu dibuktikan. Jika ada dua hal yang bertentangan antara informasi resmi dengan yang "katanya", maka yang diakui dan disepakati bersama sebagai kebenaran adalah yang berdasarkan dokumen resmi. Idealnya demikian. Ideal dalam arti keterbatasan manusia untuk selalu membuktikan segala hal. Sehingga harus ada yang sudah dengan sendirinya diakui sebagai kebenaran.

Kembali pada pemberitaan tentang pahlawan devisa kita. Ada yang berpendapat bahwa setelah diputuskan oleh pengadilan bahwa seseorang bersalah dan harus di hukum, kita harus menghormati itu sebagai sebuah putusan yang benar. Dengan demikian negara tidak boleh intervensi. Sebaliknya banyak gerakan solidaritas yang menyatakan bahwa terpidana melakukan kejahatan karena terpaksa, sehingga secara moral patut diperjuangkan oleh negara.

Terlepas dari itu semua, mana yang benar sebenar-benarnya, pengadilan ataukah para pejuang HAM, saya tidak tahu. Namun, saya jadi ingat dengan kisahnya Nabi Nuh yang sedih ketika anaknya menjadi salah satu kaumnya yang durhaka dan turut tewas dalam banjir bandang. Begitu juga kisah Nabi Ibrahim, yang juga tetap mendoakan keselamatan ayahnya meski jelas dia seorang pemahat tuhan. Juga kisah Nabi Muhammad yang bersedih atas keadaan pamannya Abu Tholib. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline